Tuesday, July 8, 2008

Proyeksi Peta

Pengertian Proyeksi Peta

Persoalan ditemui dalam upaya menggambarkan garis yang nampak lurus pada muka lengkungan bumi ke bidang datar peta. Bila cakupan daerah pengukuran dan penggambaran tidak terlalu luas, seperti halnya dalam ilmu ukur tanah (plane surveying) yang muka lengkungan bumi bisa dianggap datar maka tidak ditemui perbedaan yang berarti antara unsur di muka bumi dan gambarannya di peta.

Proyeksi peta adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran berbentuk bola ke permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Dalam proyeksi peta diupayakan sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik-titik di muka bumi dan di peta.

Bentuk bumi bukanlah bola tetapi lebih menyerupai ellips 3 dimensi atau ellipsoid. Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid yang digunakan untuk menyatakan bentuk bumi. Karena bumi tidak uniform, maka digunakan istilah geoid untuk menyatakan bentuk bumi yang menyerupai ellipsoid tetapi dengan bentuk muka yang sangat tidak beraturan.

Untuk menghindari kompleksitas model matematik geoid, maka dipilih model ellipsoid terbaik pada daerah pemetaan, yaitu yang penyimpangannya terkecil terhadap geoid. WGS-84 (World Geodetic System) dan GRS-1980 (Geodetic Reference System) adalah ellipsoid terbaik untuk keseluruhan geoid. Penyimpangan terbesar antara geoid dengan ellipsoid WGS-84 adalah 60 m di atas dan 100 m di bawah-nya. Bila ukuran sumbu panjang ellipsoid WGS-84 adalah 6 378 137 m dengan kegepengan 1/298.257, maka rasio penyimpangan terbesar ini adalah 1 / 100 000. Indonesia, seperti halnya negara lainnya, menggunakan ukuran ellipsoid ini untuk pengukuran dan pemetaan di Indonesia. WGS-84 "diatur, diimpitkan" sedemikian rupa diperoleh penyimpangan terkecil di kawasan Nusantara RI. Titik impit WGS-84 dengan geoid di Indonesia dikenal sebagai datum Padang (datum geodesi relatif) yang digunakan sebagai titik reference dalam pemetaan nasional. Sebelumnya juga dikenal datum Genuk di daerah sekitar Semarang untuk pemetaan yang dibuat Belanda. Menggunakan ER yang sama – WGS 84, sejak 1995 pemetaan nasional di Indonesia menggunakan datum geodesi absolut. DGN-95. Dalam sistem datum absolut ini, pusat ER berimpit dengan pusat masa bumi.

Untuk memudahkan rekonstruksi proyeksi peta dari titik di muka bumi maka digunakan model spheroid dengan volume yang sama dengan spheroid terbaik. Rekonstruksi proyeksi peta yang baik adalah yang bisa meminimkan distorsi dalam hal: luas, bentuk, arah dan jarak. Dalam praktek tak ada satupun sistem proyeksi peta yang bisa menghasilkan peta dengan keempat faktor luas, bentuk, arah dan jarak tidak mengalami distorsi. Upaya mempertahan salah satu unsur berakibat terjadinya distorsi pada unsur yang lain.

Sistem proyeksi peta dibuat untuk mereduksi sekecil mungkin distorsi tersebut dengan:

  • Membagi daerah yang dipetakan menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu luas, dan
  • Menggunakan bidang peta berupa bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan tanpa mengalami distorsi seperti bidang kerucut dan bidang silinder.

Kebanyakan orang enggan untuk berpindah atau ganti dari satu sistem proyeksi peta ke sistem proyeksi peta yang lain. Namun dengan berkembang majunya teknologi komputer dan komunikasi dengan terapannya dalam bidang pemetaan, seperti GPS dan GIS, maka perpindahan sistem proyeksi merupakan hal yang penting dan untuk dikerjakan.

5.2 Tujuan dan Cara Proyeksi Peta

Sistem Proyeksi Peta dibuat dan dipilih untuk:

  • Menyatakan posisi titik-titik pada permukaan bumi ke dalam sistem koordinat bidang datar yang nantinya bisa digunakan untuk perhitungan jarak dan arah antar titik.
  • Menyajikan secara grafis titik-titik pada permukaan bumi ke dalam sistem koordinat bidang datar yang selanjutnya bisa digunakan untuk membantu studi dan pengambilan keputusan berkaitan dengan topografi, iklim, vegetasi, hunian dan lain-lainnya yang umumnya berkaitan dengan ruang yang luas.

Cara proyeksi peta bisa dipilah sebagai:

  • Proyeksi langsung (direct projection): Dari ellipsoid langsung ke bidang proyeksi.
  • Proyeksi tidak langsung (double projection): Proyeksi dilakukan menggunakan "bidang" antara, ellipsoid ke bola dan dari bola ke bidang proyeksi.

Pemilihan sistem proyeksi peta ditentukan berdasarkan pada:

  • Ciri-ciri tertentu atau asli yang ingin dipertahankan sesuai dengan tujuan pembuatan / pemakaian peta,
  • Ukuran dan bentuk daerah yang akan dipetakan,
  • Letak daerah yang akan dipetakan.

5.3 Pembagian Sistem Proyeksi Peta

Secara garis besar sistem proyeksi peta bisa dikelompokkan berdasarkan pertimbangan ekstrinsik dan intrinsik.

5.3.1 Pertimbangan Ekstrinsik:

Bidang proyeksi yang digunakan:

  • Proyeksi azimutal / zenital: Bidang proyeksi bidang datar.
  • Proyeksi kerucut: Bidang proyeksi bidang selimut kerucut.
  • Proyeksi silinder: Bidang proyeksi bidang selimut silinder.

Persinggungan bidang proyeksi dengan bola bumi:

  • Proyeksi Tangen: Bidang proyeksi bersinggungan dengan bola bumi.
  • Proyeksi Secant: Bidang Proyeksi berpotongan dengan bola bumi.
  • Proyeksi "Polysuperficial": Banyak bidang proyeksi

Posisi sumbu simetri bidang proyeksi terhadap sumbu bumi:

  • Proyeksi Normal: Sumbu simetri bidang proyeksi berimpit dengan sumbu bola bumi.
  • Proyeksi Miring: Sumbu simetri bidang proyeksi miring terhadap sumbu bola bumi.
  • Proyeksi Traversal: Sumbu simetri bidang proyeksi ^ terhadap sumbu bola bumi.

5.3.2 Pertimbangan Intrinsik:

Sifat asli yang dipertahankan:

  • Proyeksi Ekuivalen: Luas daerah dipertahankan: luas pada peta setelah disesuikan dengan skala peta = luas di asli pada muka bumi.
  • Proyeksi Konform: Bentuk daerah dipertahankan, sehingga sudut-sudut pada peta dipertahankan sama dengan sudut-sudut di muka bumi.
  • Proyeksi Ekuidistan: Jarak antar titik di peta setelah disesuaikan dengan skala peta sama dengan jarak asli di muka bumi.

Cara penurunan peta:

  • Proyeksi Geometris: Proyeksi perspektif atau proyeksi sentral.
  • Proyeksi Matematis: Semuanya diperoleh dengan hitungan matematis.
  • Proyeksi Semi Geometris: Sebagian peta diperoleh dengan cara proyeksi dan sebagian lainnya diperoleh dengan cara matematis.

Tabel 5.1: Kelas proyeksi peta


KELAS

Pertimbangan
EKSTRINSIK

1. Bid. Proyeksi

Bid. Datar

Bid. Kerucut

Bid. Silinder

2. Persinggungan

Tangent

Secant

Polysuperficial

3. Posisi

Normal

Oblique/Miring

Transversal

Pertimbangan
INTRINSIK

4. Sifat

Ekuidistan

Ekuivalen

Konform

5. Generasi

Geometris

Matematis

Semi Geometris

Pertimbangan dalam pemilihan proyeksi peta untuk pembuatan peta skala besar adalah:

  • Distorsi pada peta berada pada batas-batas kesalahan grafis
  • Sebanyak mungkin lembar peta yang bisa digabungkan
  • Perhitungan plotting setiap lembar sesederhana mungkin
  • Plotting manual bisa dibuat dengan cara semudah-mudahnya
Menggunakan titik-titik kontrol sehingga posisinya segera bisa diplot.

Proyeksi Peta

Gambar 5.1: Jenis bidang proyeksi dan kedudukannya terhadap bidang datum

5.4 Peristilahan Dalam Proyeksi Peta

Beberapa ketentuan yang berhubungan dengan pemodelan bumi sebagai spheroid adalah:

a. Meridian dan meridian utama

b. Paralel dan paralel NOL atau ekuator.

c. Bujur (longitude - j ), Bujur Barat (0° - 180° BB) dan Bujur Timur (0° - 180° BT)

d. Lintang ( latitude - l ), Lintang Utara (0° -90° LU) dan Lintang Selatan (0° –90° LS)

Proyeksi Peta

Gambar 5.2: Bumi sebagai spheroid.

Bidang Datum Dan Bidang Proyeksi:
  • Bidang datum adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (j ,l ).
  • Bidang proyeksi adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (X,Y).
Ellipsoid:

a. Sumbu panjang (a) dan sumbu pendek (b)

b. Kegepengan ( flattening ) - f = (a - b)/b

Proyeksi Peta

Gambar 5.3: Geometri elipsoid.

c. Garis geodesic adalah kurva terpendek yang menghubungkan dua titik pada permukaan
elipsoid.

d. Garis Orthodrome adalah proyeksi garis geodesic pada bidang proyeksi.

e. Garis Loxodrome ( Rhumbline) adalah garis (kurva) yang menghubungkan titik-titik dengan
azimuth a yang tetap.

Proyeksi Peta

Gambar 5.4: Rhumbline atau loxodrome menghubungkan titik-titik dengan azimuth a yang tetap.

Proyeksi Peta

Gambar 5.5: orthodrome dan loxodrome pada proyeksi gnomonis dan proyeksi mercator.

5.5 Proyeksi Polyeder

Sistem proyeksi Kerucut, Normal, Tangent dan Konform

Proyeksi Peta

Gambar 5.6: Proyeksi kerucut: bidang datum dan bidang proyeksi.

Proyeksi Peta

Gambar 5.7: Proyeksi polyeder: bidang datum dan bidang proyeksi.

Digunakan untuk daerah 20' x 20' ( 37 km x 37 km ), sehingga bisa memperkecil distorsi. Bumi dibagi dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis paralel dengan lintang sebesar 20' atau tiap jalur selebar 20' diproyeksikan pada kerucut tersendiri. Bidang kerucut menyinggung pada garis paralel tengah yang merupakan paralel baku - k = 1.

Meridian tergambar sebagai garis lurus yang konvergen ke arah kutub, ke arah KU untuk daerah di sebelah utara ekuator dan ke arah KS untuk daerah di selatan ekuator. Paralel-paralel tergambar sebagai lingkaran konsentris. Untuk jarak-jarak kurang dari 30 km, koreksi jurusan kecil sekali sehingga bisa diabaikan. Konvergensi meridian di tepi bagian derajat di wilayah Indonesia maksimum 1.75'.

Proyeksi Peta

Gambar 5.8: Lembar proyeksi peta polyeder di bagian lintang utara dan lintang selatan

Proyeksi Peta

Gambar 5.9: Konvergensi meridian pada proyeksi polyeder.

Secara praktis, pada kawasan 20' x 20', jarak hasil ukuran di muka bumi dan jarak lurusnya di bidang proyeksi mendekati sama atau bisa dianggap sama.

Proyeksi polyeder di Indonesia digunakan untuk pemetaan topografi dengan cakupan:
94° 40 BT - 141° BT, yang dibagi sama tiap 20' atau menjadi 139 bagian,
11° LS - 6° LU, yang diabgi tiap 20' atau menjadi 51 bagian.

Penomoran dari barat ke timur: 1, 2, 3, ... , 139,
dan penomoran dari LU ke LS: I, II, III, ... , LI.

5.5.1 Penerapan Proyeksi Polyeder di Indonesia

Sistem Penomoran Bagian Derajat Proyeksi Polyeder

Peta dengan proyeksi Polyeder dibuat di Indonesia sejak sebelum Perang Dunia II, meliputi peta-peta di pulau Jawa, Bali dan Sulawesi.

Wilayah Indonesia dengan 94° 40' BT - 141° BT dan 6° LU - 11° LS dibagi dalam 139 x LI bagian derajat, masing-masing 20' x 20'.

Tergantung pada skala peta, tiap lembar bisa dibagi lagi dalam bagian yang lebih kecil.

Cara Menghitung Pojok Lembar Peta Proyeksi Polyeder

Setiap bagian derajat mempunyai sistem koordinat masing-masing. Sumbu X berimpit dengan meridian tengah dan sumbu Y tegak lurus sumbu X di titik tengah bagian derajatnya. Sehingga titik tengah setiap bagian derajat mempunyai koordinat O.

Koordinat titik-titik lain seperti titik triangualsi dan titik pojok lembar peta dihitung dari titik pusat bagian derajat masin-masing bagian derajat. Koordinat titik-titik sudut (titik pojok) geografis lembar peta dihitung berdasarkan skala peta, misal 1 : 100 000, 1 : 50 000, 1 : 25 000 dan 1 : 5 000.

Pada skala 1 :50 000, satu bagian derajat proyeksi polyeder (20' x 20') tergambar dalam 4 lembar peta dengan penomoran lembar A, B, C dan D. Sumbu Y adalah meridian tengah dan sumbu X adalah garis tegak lurus sumbu Y yang melalui perpotongan meridian tengah dan paralel tengah. Setiap lembar peta mempunyai sistem sumbu koordinat yang melalui titik tengah lembar dan sejajar sumbu X,Y dari sistem koordinat bagian derajat.

5.5.2 Keuntungan dan Kerugian Sistem Proyeksi Polyeder

Keuntungan proyeksi polyeder:
Kareana perubahan jarak dan sudut pada satu bagian derajat 20' x 20', sekitar 37 km x 37 km bisa diabaikan, maka proykesi ini baik untuk digunakan pada pemetaan teknis skala besar.

Kerugian proyeksi polyeder:

a. Untuk pemetaan daerah luas harus sering pindah bagian derajat, memerlukan tranformasi
koordinat,

b. Grid kurang praktis karena dinyatakan dalam kilometer fiktif,

c. Tidak praktis untuk peta skala kecil dengan cakupan luas,

d. Kesalahan arah maksimum 15 m untuk jarak 15 km.

5.6 Proyeksi Universal Traverse Mercator ( UTM ):

UTM merupakan sistem proyeksi Silinder, Konform, Secant, Transversal

Ketentuan selanjutnya:

  • Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut meridian standar dengan faktor skala 1.
  • Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180° BT dengan nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri
  • Perbesaran di meridian tengah = 0.9996
  • Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84° LU dan 80° LS.

Pada Gambar 5.10 berikut ditunjukkan perpotongan silinder terhadap bola bumi dan gambar XYZ menujukkan penggambaran proyeksi dari bidang datum ke bidang proyeksi.

Proyeksi Peta

Gambar 5.10: Kedudukan bidang proyeksi silinder terhadap bola bumi pada proyeksi UTM

Proyeksi Peta

Gambar 5.11: Proyeksi dari bidang datum ke bidang proyeksi.

Proyeksi Peta

Gambar 5.12: Pembagian zone global pada proyeksi UTM.

Pada kedua gambar tersebut, ekuator tergambar sebagai garis lurus dan meridian-meridian tergambar sedikit melengkung. Karena proyeksi UTM bersifat konform, maka paralel-paralel juga tergambar agak melengkung sehingga perpotongannya dengan meridian membentuk sudut siku. Ekuator tergambar sebagai garis lurus dan dipotong tegak lurus oleh proyeksi meridian tengah yang juga terproyeksi sebagai garis lurus melalui titik V dan VI. Kedua garis ini digunakan sebagai sumbu sistem koordinat (X,Y) proyeksi pada setip zone.

Sistem grid pada proyeksi UTM terdiri dari garis lurus yang sejajar meridian tengah. Lingkaran tempat perpotongan silinder dengan bola bumi tergambar sebagai garis lurus. Pada daerah
I, V, II dan III, VI, IV gambar proyeksi mengalami pengecilan, sedangkan pada daerah IA, IIB, IIIC dan IVD mengalami perbesaran. Garis tebal dan garis putus-putus pada gambar menunjukkan proyeksi lingkaran-lingkaran melalui I, II, III dan IV yang tidak mengalami distorsi setelah proyeksi.

Notasi sistem proyeksi UTM:

L

Lintang, positif ke utara katulistiwa

L'

Lintang titik kaki pada Meridian Tengah

B

Bujur, positif ke timur Meridian Greenwich

B'

Bujur Meridian Tengah

i

Subskrip untuk menunjukkan nomor urutan titik

dL

Li - Li-1

dB

Bi - Bi-1

db

B - B' , beda bujur dihitung dari Meridian Tengah.

U'

Jarak grid suatu titik diukur dari katulistiwa

T'

Jarak grid suatu titik diukur dari Meridian Tengah.

U

Ordinat grid suatu titik,
jika titik di sebelah utara katulistiwa, U = U' m
jika titik di sebelah selatan katulistiwa, U = 10 000 000 - U' m

T

Absis grid suatu titik,
jika titik di sebelah timur Meridian Tengah, T = 500 000 + T' m,
jika titik di sebelah barat Meridian Tengah, T = 500 000 - T' m.

N, M

Jari-jari kelengkungan bidang normal dan jari-jari kelengkungan bidang meridian.

A

Azimuth geodesi, adalah sudut antara meridian spheroid dan garis geodesik searah jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360° .

Ag

Azimuth grid, adalah sudut antara utara grid dan garis geodesik searah jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360° .

As

Sudut jurusan grid, adalah sudut antara utara grid dan garis penghubung lurus 2 titik searah jarum jam sampai 360° .

Kg

Konvergensi grid, adalah sudut antara azimuth geodesi dan azimuth grid.

Km

Konvergensi meridian adalah perubahan azimuth dari garis geodesi antara dua titik di spheroid.
Azimuth belakang = Azimuth muka + Konvergensi meridian
± 180° .
A2-1 = A1-2 + Km
± 180° .

Kn

Sudut kelengkungan garis adalah perubahan azimuth grid antara 2 titik pada busur.
Ag i-1 = Ag i + K n
± 180° .

tmt

Koreksi kelengkungan busur, adalah sudut antara busur dan garis lurus (arc-to-chord).
As = Ag + tmt = A + Kg + tmt

s

Jarak spheroid = jarak di atas spheroid sepanjang garis geodesi atau sepanjang irisan normal busur.

S

Jarak grid adalah panjang busur sebagai proyeksi dari jarak geodesi (jarak di spheroid)

D

Jarak di bidang datar, yaitu garis penghubung lurus antara dua titik di bidang datar.

m

Panjang meridian pada spheroid dihitung dari katulistiwa.

a, b

Setengah sumbu panjang dan sumbu pendek ellipsoid

e2

Eksentrisitas ellipsoid = (a2 - b2)/a2

e'2

Eksentrisitas kedua = (a2 - b2)/b2

k0

Angka perbesaran (faktor skala) pada meridian tengah = 0.9996.

k

Angka perbesaran titik di sembarang tempat.

K

Angka perbesaran garis di sembarang tempat.

Konvergensi Meridian:
Proyeksi Peta

Gambar 5.13: Konvergensi Meridian pada proyeksi UTM

5.6.1 Ukuran Lembar Peta dan Cara Menghitung Titik Sudut Lembar Peta UTM

Susunan Sistem Koordinat

Ukuran satu lembar bagian derajat adalah 6° arah meridian 8° arah paralel (6° x 8° ) atau sekitar (665 km x 885 km).

Pusat koordinat tiap bagian lembar derajat adalah perpotongan meridian tengah dengan "paralel" tengah. Absis dan ordinat semu di (0,0) adalah + 500 000 m, dan + 0 m untuk wilayah di sebelah utara ekuator atau + 10 000 000 m untuk wilayah di sebelah selatan ekuator.

Gambar 5.14 dan 5.15 menunjukkan sistem koordinat dan faktor skala pada setiap lembar peta. Perhatikan pada absis antara 320 000 m – 500 000 m dan 680 000 m – 500 000 m terjadi pengecilan faktor skala dari 1 ke 0.9996. Sedangkan pada selang diluar kedua daerah ini terjadi perbesaran faktor skala. Misalnya, pada tepi zone atau sekitar 300 km di sebelah barat dan timur meriadian tengah, untuk jarak 1 000 m pada meridian tengah akan tergambar 1.000 070 x 1 000 m = 1 000.70 m, atau terjadi distorsi sekitar 70 cm / 1 000 m.

Proyeksi Peta

Gambar 5.14: Sistem koordinat proyeksi peta UTM.

Proyeksi Peta

Gambar 5.15: Grafik faktor skala proyeksi peta UTM.

Lembar Peta UTM Global

Penomoran setiap lembar bujur dari 180° BB180° BT menggunakan angka Arab
1 60.

Penomoran setiap lembar arah paralel 80° LS – 84° LU menggunakan huruf latin besar dimulai dengan huruf C dan berakhir huruf X dengan tidak menggunakan huruf I dan O.
Selang seragam setiap mulai 80° LS – 72° LU atau CW.

Menggunakan cara penomoran seperti itu, secara global pada proyeksi UTM, wilayah Indonesia di mulai pada zone 46 dengan meridian sentral 93° BT dan berakhir pada zone 54 dengan meridian sentral 141° BT, serta 4 satuan arah lintang, yaitu L, M, N dan P dimulai dari
15° LS – 10° LU.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 250 000 di Indonesia
    1. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 250 000 adalah 1 ½° x 1° .
      Sehingga untuk satu bagian derajat 6° x 8° terbagi dalam 4 x 8 = 32 lembar.
    2. Angka Arab 1 - 31 untuk penomoran bagian lembar setiap 1 ½° pada arah 94½° BT – 141° BT.
    3. Angka Romawi I – XVII untuk penomoran bagian lembar setiap 1° pada arah
      LU – 11° LS.
Lembar Peta UTM Skala 1 : 100 000 di Indonesia
    1. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 100 000 adalah 30’ x 30’.
    2. Satu lembar peta skala 1 : 250 000 dibagi menjadi 6 bagian lembar peta skala 1 : 100 000.
    3. Angka Arab 1 – 94 untuk penomoran bagian lembar setiap 30’ pada arah
      94° BT – 141° BT.
    4. Angka Arab 1 - 36 untuk penomoran bagian lembar setiap 30’ pada arah
      LU – 12° LS.
Lembar Peta UTM Skala 1 : 50 000di Indonesia
    1. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 50 000 adalah 15’ x 15’.
    2. Satu lembar peta skala 1 : 100 000 dibagi menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 : 50 000.
    3. Penomoran menggunakan angka Romawi I, II, III dan IV dimulai dari pojok kanan atas searah jarum jam.
Lembar Peta UTM Skala 1 : 25 000 di Indonesia
    1. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 25 000 adalah 7 ½ ’ x 7 ½ ’.
    2. Satu lembar peta skala 1 : 50 000 dibagi menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 : 25 000.
    3. Penomoran menggunakan huruf latin kecil a, b, c dan d dimulai dari pojok kanan atas searah jarum jam.

5.6.2 Kebaikan Proyeksi UTM

  1. Proyeksi simetris selebar 6° untuk setiap zone,
  2. Transformasi koordinat dari zone ke zone dapat dikerjakan dengan rumus yang sama untuk setiap zone di seluruh dunia,
  3. Distorsi berkisar antara - 40 cm / 1 000 m dan 70 cm / 1 000 m.

5.7 Proyeksi TM-3°

Sistem proyeksi peta TM-3° adalah sistem proyeksi Universal Tranverse Mercator dengan ketentuan faktor skala di meridian sentral = 0.9999 dan lebar zone = 3° . Sistem proyeksi ini, sejak tahun 1997 digunakan oleh bekas Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai sistem koordinat nasional menggunakan datum absolut DGN-95.

Penomoran lembar peta:

Penomoran zone sistem proyeksi TM-3 berbasis nomor zoner UTM 46 – 54.

Nomor Zone

Bujur
Meridian Sentral

Meridian Batas Zone

( B0 )

Barat

Timur

46.2

94° 30’

93°

96°

47.1

97 30

96

99

47.2

100 .0

99

102

48.1

103 30

102

105

48.2

106 30

105

108

49.1

109 30

108

111

49.2

112 30

111

114

50.1

115 30

114

117

50.2

118 30

117

120

51.1

121 30

120

123

51.2

124 30

123

126

52.1

127 30

126

129

52.2

130 30

129

132

53.1

133 30

132

135

53.2

136 30

135

138

54.1

139 30

138

141

Ketentuan sistem proyeksi peta TM-3° :

a. Proyeksi : TM dengan lebar zone 3°

b. Sumbu pertama (Y) : Meridian sentral dari setiap zone

c. Sumbu kedua (X) : Ekuator

d. Satuan : Meter

e. Absis semu (T) : 200 000 meter + X

f. Ordinat semu (U) : 1 500 000 meter + Y

g. Faktor skala pada meridian sentral : 0.9999

Peratanyaan dan Soal Latihan

1. Buat perbandingan antara sistem proyeksi Polyeder dan UTM.

2. Pada awal pemetaan di Indonesia, pernah digunakan titik (6° LS, 106° 48’ 27.79’’ BT) sebagai titik pangkal koordinat.
Hitung posisi titik ini dalam lembar peta: Polyeder, UTM dan TM3 pada bergaia skala yang anda ketahui.

Rangkuman

Sistem proyeksi peta dipilih untuk menggambarkan rupa bumi tiga dimensi ke muka bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Tak ada satu sistem proyeksi peta-pun yang mampu memproyeksikan ke bidang datar bentuk, luas dan jarak rupa bumi sama persis tanpa distorsi. Sistem proyeksi peta yang sekarang umum digunakan adalah UTM. Di Indonesia, UTM dimodifikasi dengan membagi lembar peta UTM menjadi (3 x 3). Sistem proyeksi peta UTM digunakan oleh BAKOSURTANAL untuk JKGN Orde 0 dan 1, sedangkan TM3 digunakan oleh eks Badan Pertanahan Nasional untuk JKGN Orde 2 dan 3. Peta topografi Indonesia buatan Belanda menggunakan sistem proyeksi Polyeder.

2 comments:

Unknown said...

oi blognya ok banget, bung bony dapat bahan darimana aja tuh..., eh btw ... nte bisa pake landdesktop nggk?

Anonymous said...

mas, ada kah nick YMnya?