Sunday, July 19, 2009

Penggunaan GPS dan Citra Satelit dalam Survey Teknis dan Desain dalam Koridor

Bila anda akan merencakanan suatu koridor baru baik untuk jalan rel maupun jalan raya, maka anda akan dihadapkan pada kurangnya informasi yang uptodate soal peta dasar topografi (Peta Rupa Bumi Indonesia). Apalagi daerah yang didesain adalah wilayah Sumatera. Beberapa masalah yang ada adalah:
  • Berdasarkan informasi dari pihak BAKOSURTANAL, peta topografi atau rupa bumi untuk sebagian besar wilayah Sumatera baik yang berupa kertas maupun digital merupakan terbitan Dinas Topografi AD tahun 1974 dengan skala 1:50000.
  • Tidak tersedianya peta skala 1:25000 dapat diatasi dengan banyaknya data di internet berupa peta satelit baik berupa foto satelit Quick Bird ataupun citra satelit IKONOS produksi tahun 2000-2002.
  • Menurut Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, peta geologi berskala 1:100.000 - 1:250.000 memakai peta US ARMY terbitan tahun 1953 sebagai peta dasar. Datum peta ini adalah Datum Batavia (Bessel 1846). Transformasi datum harus dilakukan ke datum internasional WGS84 atau datum Indonesia Datum IDN95.
  • Peta-peta tersebut diatas tidak lengkap dalam menampilkan kontur. Sebagai tambahan referensi untuk terrain, maka data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dari NASA tahun 2000, dapat menghasilkan kontur dengan kerapatan sampai 0.5 m.
  • Pemakaian GPS tipe navigasi akan diperlukan untuk melengkapi peta 1:50.000 diatas dan tracing desain alinyemen baru di lapangan. GPS tipe ini mempunyai akurasi 5-15 meter.
  • Agar semua peta, baik itu peta topografi, peta geologi, peta tata guna lahan maupun peta kepemilikan tanah yang ada akan dirubah dan digitasi kedalam peta GIS sehingga dapat dilakukan superimpose terhadap layer-layer yang ada. Dengan demikian dapat terlilhat apakah alinyemen yang baru melewati daerah patahan atau tidak, melewati lahan milik siapa dan lainnya.

Untuk mempermudah pekerjaan, saya memakai software-software dari Autodesk®. Gambar dibawah menunjukan proses pekerjaan dengan memakai software Autodesk®.


Untuk memperjelas tulisan ini, maka dipilih suatu contoh soal. Di Staiun Kotabumi, Lampung akan dilakukan perbaikan lengkung dari R=300 m menjadi R=500 m. Pembuatan draft desain (schematic site layout) perbaikan lengkung dilakukan dengan cara:

1) Inventarisasi data-data sekunder seperti:

· Peta topografi dari Dinas Topografi AD skala 1:50.000 terbitan tahun 1974 yang akan discanned untuk mendapatkan file digitalnya.

· Peta geologi dari Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral skala 1:250.000 – 1:100.000

· Peta situasi jalan KA buatan Belanda terbitan tahun 1919 dengan skala H=1:5000 dan V=1:200

· Peta digital dari Bakosurtanal

· Google Earth (edit untuk pengganti spaceimaging.com)

· Data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dari NASA

· Data lengkung existing dari Divre III Sumatera Selatan

· Peta GIS geologi dari ESRI

· Peta Tata Guna Lahan dan Kepemilikan Tanah dari Bappeda Propinsi Sumatera Selatan dan Lampung

2) Peta dalam bentuk digital akan mempermudah dan mempercepat pekerjaan desain khususnya bila terjadi masalah.

3) Karena peta topografi yang ada buatan tahun 1974, maka image dari Google Earth akan lebih tepat untuk pembuatan draft desain.

4) Image dari Google Earth harus dikalibrasi dahulu dengan software Global Mapper atau istilah kerennya memberi georeference atau koordinat geografi di image tersebut.

5) File image ini kemudian dibuka di Autodesk Land Desktop untuk dapat melihat situasi di lengkung nomor 13 dan 14.


6) Jalan KA existing dan desain lengkung R=500 dan R=800 digambar di atas foto satelit. Data alignment dikompilasi dari data lengkung Divre III Sumsel dan peta jalan KA buatan Belanda.


7) Titik-titik elevasi dikompilasi dari data SRTM S05E104.hgt dengan software Global Mapper. Titik elevasi ini kemudian digenerate oleh Autodesk Land Desktop menjadi terrain dan kontur.


8) Data profile dan cross sction existing ground secara langsung dapat dibuat dan digambar. Ketinggian elevasi rel existing kemudian digambar di profile yang sudah ada.

9) Dari desain ini terdapat 2 alternatif yaitu lengkung dengan R=500 tidak akan ada pembuatan jembatan baru. R=800 yang merupakan shortcut dari lintas ini memerlukan 1 buah jembatan baru. Dari sini harus dilihat apakah penyambungan rel existing dan desain tidak menimbulkan masalah dalam gradien jalan KA.


10) Peta situasi ini kemudian dikompilasi dalam format yang dapat dibaca oleh GPSr Garmin untuk tracing lapangan pada saat site survey. Gambar dibawah ini merupakan tampilan dari Garmin GPSMap 60CS yang akan dipakai.



11) Pemeriksaan konsep desain dilakukan dengan GPS sebagai navigasi. Pada gambar berikut, konsep desain lengkung no 13 dan 14 ditampilkan dalam bentuk Route sehingga titik awal dan lintasan dari desain dapat ditelusuri. Gambar sebelah kiri, menunjukkan Route untuk R=800 dan gambar sebelah kanan posisi kompas yang menunjukan arah jalan (Heading) yang sudah sesuai dengan arah tujuan (Bearing).

12) Bila dalam tracing path ini, ditemui kendala, maka perubahan konsep desain dapat dilakukan langsung di lapangan dengan merubah dan menelusuri perubahan ini.

GPS Buoy System (pengukuran pasut, arus, dll)

Studi Sistem GPS BUOY

GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi yang berbasiskan satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, serta didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti, dan juga informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia (Abidin, 1995). Teknologi GPS mulai dikembangkan sekitar tahun 70-an oleh pihak militer Amerika Serikat melalui Departemen pertahanan USA yang digunakan untuk kepentingan militer negaranya. Seiring dengan perkembangan system ini, GPS telah digunakan secara luas di pelbagai bidang di luar kepentingan militer, dan dikembangkan tidak hanya di negara Amerika Serikat saja, melainkan di seluruh dunia.

Pada lingkup penelitian, GPS dapat digunakan untuk studi Geodinamika, deformasi, studi oseanografi, dan lain-lain. Salah satu hal yang menarik dari penggunaan GPS ini dalam keperluan oseanografi yaitu GPS Buoy System. GPS buoy System digunakan diantaranya untuk penentuan pasut lepas pantai, pasut pantai, studi pola arus, Tsunami EWS, dan lain-lain. GPS mampu memberikan ketelitian posisi sampai dengan ketelitian sentimeter bahkan milimeter. Untuk mencapai ketelitian yang tinggi dengan menggunakan GPS dalam studi GPS Buoy digunakan metoda kinematik diferensial baik itu secara real time (RTK) maupun kinematic post processing. Untuk beberapa kasus biasa digunakan Differential GPS (DGPS).


KONSEP DARI GPS BUOY

Konsep dari GPS buoy System yaitu menyimpan receiver GPS dan antenna ketika pada saat pengamatan pada sebuah pelampung. Dengan menggunakan metoda diferensial, yaitu satu receiver GPS berada pada pelampung dan satu lagi di titik referensi (di darat) yang letaknya beberapa kilometer dari buoy, kemudian (untuk kasus real time) titik referensi tersebut memberikan koreksi ke receiver di Buoy, maka posisi teliti dari Buoy dapat ditentukan.

Ketelitian dari posisi Buoy sangat bergantung pada system dan desain pengukuran, selain itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum buoy di coba. Kriteria utama untuk pengukuran GPS buoy yaitu menentukan syarat ketelitian posisi buoy dan peralatan yang menghasilkan data yang bagus untuk ketelitian yang diinginkan. Dari hal tersebut memunculkan pertanyaan Receiver GPS jenis apa yang harus digunakan, bagaimana metode pengambilan datanya, dan bagaimana cara mengolah datanya. Tipe Receiver GPS sangat penting dalam pengukuran ini karena receiver ini lah yang menghasilkan data untuk diolah, demikian juga ketelitian pengukuran akan bergantung pada bagaimana strategi pengambilan dan pengolahan datanya. Sebagai contoh, jika ketelitian yang diinginkan pada level sentimeter, maka GPS dual frequency dengan metoda diferensial akan memenuhi sarat ketelitian yang diinginkan tersebut. Pada sisi lain, jika ketelitian posisi yang diinginkan pada level 1-2 meter, maka kira-kira Receiver GPS dual frequency dengan metoda DGPS akan memenuhi ketelitian yang diinginkan.

Secara umum, untuk keperluan sistem GPS buoy, metode penentuan posisi yang biasa digunakan adalah RTK (yang dapat memberikan ketelitian dalam level sentimeter secara real time), kinematik diferensial post procesing apabila kita tidak memerlukan data real time (contoh pemodelan pasut), atau metode DGPS apabila untuk kasus-kasus tertentu hanya diperlukan ketelitian dalam level 1-2 meter saja.


TEKNIK PENENTUAN POSISI PADA SISTEM GPS BUOY

Seperti yang telah disebutkan si atas untuk GPS Buoy, metode penentuan posisinya bisa RTK (Real Time Kinematic), kinematik diferensial post proccesing, dan bisa juga DGPS (Differential Global Positioning System), tergantung kebutuhannya.

Sistem RTK (Real Time Kinematic) adalah suatu akronim yang sudah umum digunakan untuk Penentuan posisi real time secara diferensial yang menggunakan data fase. Sistem ini umumnya digunakan untuk Penentuan posisi obyek-obyek yang bergerak. Untuk merealisasikan tuntuan real-time nya, maka monitor station harus mengirimkan koreksi diferensial (fase) ke pengguna secara real time dengan menggunakan system komunikasi data tertentu.

Sistem kinematik diferensial post processing prinsipnya sama dengan RTK, hanya beda dalam hal sisi real time-nya. Pada sistem kinematik diferensial post processing sesuai dengan namanya (post processing) maka data dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian diolah (secara manual) menggunakan software pengolahan data GPS.

Sistem DGPS adalah suatu akronim yang sudah umum digunakan untuk Penentuan posisi real time secara diferensial yang menggunakan data pseudorange. Sistem ini umumnya juga digunakan untuk penentuan posisi obyek-obyek yang bergerak. Untuk merelisasikan tuntuan real-time nya, maka monitor station harus mengirimkan koreksi diferensial ke pengguna secara real time dengan menggunakan system komunikasi data tertentu. Koreksi diferensial ini dapat berupa koreksi jarak (pseudorange) maupun koreksi koordinat. Dalam hal ini, yang umum digunakan adalah koreksi pseudorange. Koreksi koordinat jarang digunakan, karena koreksi ini menuntut bahwa stasiun referensi pengirim koreksi serta pengamat mengamati satelit-satelit yang sama, dimana hal ini tidak selalu dapat direalisasikan dalam operasional lapangannya.

FAKTOR PENGARUH KESALAHAN SIGNIFIKAN PADA SISTEM GPS BUOY

Kesalahan yang cukup signifikan pada GPS Buoy, salah satunya adalah efek ayunan antena. Efek ayunan antena merupakan kesalahan tinggi yang diakibatklan perubahan-perubahan posisi antena relatif terhadap permukaan laut. Untuk memperoleh tinggi muka air laut yang benar atau diasumsikan benar maka data sudut ayunan antenna harus diperoleh bersamaan dengan saat-saat pengamatan GPS dilakukan. Untuk menangani kesalahan ini maka alat GPS dapat ditambahkan dengan komponen lain yaitu tilt meter, atau GPS Buoy disusun oleh Receiver GPS lebih dari satu.

Dalam perjalanannya dari satelit GPS ke receiver pengamat, sinyal GPS akan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias. Pada dasarnya kesalahan dan bias GPS dapat dikelompokan atas kesalahan dan bias yang terkait dengan satelit (berupa kesalahan jam satelit, ephemeris, dan selective availability), medium propagasi (berupa bias ionosfer dan bias troposfer ), Receiver GPS (meliputi kesalahan jam receiver, kesalahan yang terkait dengan antenna, dan noise), data pengamatan (seperti ambiguitas fase dan cycle slip), dan lingkungan sekitar receiver gps (multipath dan imaging). Terkait dengan sistem GPS Buoy, hal yang dapat mencolok dari jenis kesalahan dan bias ini (termasuk dalam kesalahan signifikan) adalah kesalahan multipath, karena air (laut) bersifat reflektif. Untuk menangani kesalahan multipath ini maka alat antena GPS disusun sedemikian rupa sehingga dapat menangkal efek multipath tersebut.


APLIKASI GPS BUOY SYSTEM

Aplikasi dari GPS Buoy System yang sekarang ini banyak kita jumpai, yaitu diantaranya untuk pengamatan pasut lepas pantai, pengamatan pasut pantai, GPS Buoy untuk koreksi radar altimetry, penentuan pola arus laut, Tsunami EWS, dan lain-lain.

Baru baru ini setelah terjadinya tsunami akibat gempa Aceh 2004, sistem GPS Buoy untuk Tsunami EWS banyak diperbincangkan, kemudian setelah itu juga bahkan banyak dibangun dibeberapa tempat sebagai bagian komponen system dari keseluruhan sistem EWS (Early Warning System). GPS Buoy menurut hasil percobaan, dapat mendeteksi sinyal gelombang tsunami yang muncul akibat terjadinya suatu gempa bumi di laut.


APLIKASI GPS BUOY PADA PENGAMATAN PASUT LEPAS PANTAI

Pengamatan pasang surut (pasut) laut umumnya dilakukan dipinggir pantai dengan menggunakan palem pasut ataupun peralatan tide gaug lainnya. Patut diingat disini bahwa karakteristik pasut yang diamati ditepi pantai umumnya hanya valid untuk kawasan dengan radius tertentu dari titik pengamatan. Diluar kawasan tersebut, seperti dilepas pantai, karakteristik pasut biasanya ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan melakukan prediksi menggunakan cotidal chart.

Dengan menggunakan GPS Buoy, pengamatan pasut dapat dilakukan secara langsung. Dalam hal ini, satu receiver GPS ditempatkan di pelampung yang dijangkarkan di dasar laut, dan satu reveiver lainnya ditempatkan di satu titik (bench mark) dipinggir pantai. Pada metoda ini, GPS digunakan untuk menentukan beda tinggi antara pelampung dengan benchmark tersebut dari waktu kewaktu.


APLIKASI GPS BUOY PADA PENGAMATAN PASUT PANTAI

Pengamatan pasang surut dengan tide gaug biasanya dilakukan dalam selang waktu tertentu (menit atau jam). Dalam selang waktu pengamatan tersebut mungkin saja dapat terjadi kehilangan informasi dari komponen high frekuensi-nya. GPS mampu mengamati posisi secara high rate (1 Hz), (posisi ditentukan tiap detik) sehingga dapat mengakomodasi sinyal high frekuensi yang mungkin ada di dalam komponen pasut yang akan kita amati, kemudian selanjutnya kita buatkan bentuk model pasutnya.

Dengan menggunakan GPS Buoy dalam pengamatan pasut yang dapat dilakukan secara high rate, dan bahkan secara real time, mungkin merupakan keunggulan dari sistem GPS Buoy ini apabila dibandingkan dengan pengamatan pasut biasa, atau setidaknya menjadi alat pelengkap (complementary) dari sistem pengamatan pasut yang ada, sehingga pemodelan pasut nantinya yang akan kita cari, akan lebih baik lagi kita dapatkan model akhirnya.


APLIKASI GPS BUOY UNTUK KOREKSI RADAR ALTIMETER

GPS Buoy dapat diaplikasikan untuk koreksi radar altimeter. Contohnya dibawah ini adalah koreksi radar altimeter yang dilakukan di Crosica. Radar yang akan dikoreksi/dikalibrasi yaitu TOPEX/Poseidon altimeter.

Sejak februari 2000, untuk setiap T/P overflight (seharian) sebuah GPS buoy berada pada track sekitar 10 km di lepas pantai. Perbandingan tinggi muka laut dengan GPS dan altimetry menghasilkan kesalahan altimetry. Dengan adanya GPS Buoy ini maka kesalahan nantinya dapat dikoreksi. Kontrol yang sistematik juga dilakukan dengan pengukuran menggunakan 3 tide guage sebelum dan sesudah overflight.

Contoh kalibrasi absolut yang terdapat di croscia, disitu mereka bisa melakukan perhitungan dengan GPS buoy dan membandingkannya dengan suatu pendekatan klasik. Di dalam study tersebut, data GPS telah diperoleh dengan receiver Sercel dan diolah dengan menggunakan software Geogenius, GDR dari PODAAC digunakan untuk pengolahan data altimetry.


APLIKASI GPS BUOY UNTUK STUDI POLA ARUS LAUT

Sistem GPS Buoy dapat digunakan untuk menentukan pola arus laut di suatu kawasan perairan. Caranya yaitu dengan menempatkan Receiver GPS pada suatu buoy (alat pelampung) yang bergerak bebas, bersama dengan perangkat pemancar data (transmiter) yang berfungsi mengirimkan data posisi. Karena adanya arus laut maka pelampung yang membawa receiver GPS, dan transmiter akan bergerak mengikuti arah pergerakan arus yang bersangkutan ( Ilustrasi dapat dilihat pada gambar disamping.

Dengan menentukan posisi pelampung dari waktu ke waktu menggunakan GPS, maka trajektori pelampung, yang mewakili arah pergerakan arus laut dalam selang waktu tertentu dapat di ketahui.
Untuk menentukan arah pergerakan arus laut yang relatif teliti dan memadai untuk keperluan praktis, yaitu dengan orde ketelitian posisi titik-titik sepanjang trajektori sebesar 1 – 5 meter, maka metoda penentuan posisi secara diferensial dengan menggunakan data pseudorange dapat digunakan. Seandainya ketelitian yang lebih tinggi diinginkan maka data fase-lah yang harus digunakan.


Studi GPS BUOY yang dilakukan KK GEODESI

Studi GPS Buoy oleh KK Geodesi bekerjasama dengan BPPT dilaksanakan di teluk Jakarta, sekitar 10 kilometer di lepas pantai kawasan Dadap, Tanggerang. Pengamatan dilaksanakan dalam periode 15 sampai dengan 25 april 2000, menggunakan dua receiver GPS tipe geodetik dual frekuensi Trimble 4000 SSE dan Trimble 4000 SSI, dimana satu receiver ditempatkan di stasiun referensi di darat dan satunya di pelampung. Stasiun referensi berada di halaman Laboraturium lapangan UPT Baruna Jaya BPPT di daerah Dadap.

Dalam pengamatan satelit GPS, kedua receiver menggunakan interval data pengamatan sebesar 0.5 detik. Koordinat stasiun referensi ditentukan secara diferensial dari stasiun IGS BAKOSURTANAL yang berada di Cibinong Bogor. Sementara itu antena GPS dari sistem pelampung GPS di lepas pantai ditambatkan dengan tali pada suatu bagan penangkap ikan di lepas pantai. Sedangkan receiver GPS dan batere yang digunakan ditempatkan di atas bagan tersebut.

Untuk mengecek hasil pengamatan variasi muka laut dengan sistem pelampung GPS ini, digunakan juga data pasut dari stasiun pasang surut pemanen milik PERUM PELABUHAN II yang terletak sekitar 10 kilometer dari lokasi pelampung GPS.

Pengolahan data GPS dilakukan dengan menggunakan software GPS, dimana hasil pengolahannya berupa koordinat antena pelampung GPS dalam lintang, bujur, dan tinggi ellipsoid dari epok per epok, relatif terhadap stasiun referensi di Dadap. Penentuan koordinat antena GPS ini menggunakan data fase yang ambiguitas fasenya ditentukan dengan metode on the fly [Abidin, 1993]. Hasil pengolahan data GPS dengan data Pasut memperlihatkan pola yang relatif sama. Perbedaannya terdapat dalam komponen frekuensi tinggginya (riak dan gelombang) yang hanya diperoleh dari GPS, dan tidak teramati pasut.

Studi Geoid Teliti dan pemodelannya di daerah Indonesia

DEFINISI DARI GEOID

Salah satu tujuan ilmu geodesi adalah menentukan bentuk dan ukuran bumi termasuk pula didalamnya menentukan medan gaya berat bumi dalam dimensi ruang dan waktu. Bentuk bumi didekati melalui beberapa model diantaranya ellipsoida yang merupakan bentuk ideal dengan asumsi bahwa densitas ( kerapatan ) bumi homogen. Sementara itu kenyataan sebenarnya, densitas massa bumi yang heterogen dengan adanya gunung, lautan, cekungan,dataran akan membuat ellipsoid berubah menjadi bentuk yang baru yaitu Geoid.

Geoid disebut sebagai model bumi yang mendekati sesungguhnya. Lebih jauh geoid dapat didefinisikan sebagai bidang ekipotensial yang berimpit dengan permukaan laut pada saat keadaan tenang dan tanpa gangguan , karena itu secara praktis geoid dianggap berhimpit dengan permukaan laut rata-rata (Mean sea level-MSL). Jarak geoid terhadap ellipsoid disebut Undulasi geoid (N). Nilai dari undulasi geoid tidak sama di semua tempat, hal ini disebabkan ketidakseragaman sebaran densitas massa bumi. Untuk keperluan aplikasi geodesi, geofisika dan oseanografi dibutuhkan geoid dengan ketelitian yang cukup tinggi.


KEBUTUHAN AKAN GEOID

Geoid memiliki peran yang cukup penting dalam berbagai hal seperti untuk keperluan aplikasi geodesi, oseanografi, dan geofisika. Contoh untuk bidang geodesi yaitu penggunaan teknologi GPS dalam penentuan tinggi orthometrik untuk berbagai keperluan praktis seperti rekayasa, survei, dan pemetaan membutuhkan infomasi geoid teliti. Hal Ini disebabkan karena tinggi GPS adalah bersifat geometrik karena mengacu pada bidang matematis ellipsoid, sedangkan tinggi yang diperlukan untuk keperluan praktis adalah tinggi yang mempunyai arti fisik di permukaan bumi yaitu tinggi orthometrik di mana bidang acuannya adalah geoid. Beda tinggi antara ellipsoid dan tinggi geoid sangatlah bervariasi dan besarnya bisa mencapai puluhan meter, sehingga pemakaian langsung tinggi GPS (tinggi ellipsoid) itu bisa menyebabkan penyimpangan puluhan meter terhadap tinggi orthometrik.

Pada saat ini dan yang akan datang, kebutuhan akan model geoid akan sangat mendesak karena pesatnya pemakaian GPS untuk berbagai keperluan rekayasa dan survei pemetaan. Perkembangan pesat ini didukung oleh kecanggihan teknik GPS itu sendiri yang dapat mengukur dimana saja, kapan saja dan tidak tergantung cuaca di seluruh permukaan bumi. Selain itu dengan perkembangan metoda kinematik GPS yang dapat menghasilkan tinggi hingga tingkat centimeter semakin menarik minat pengguna GPS untuk menggunakan GPS dalam penentuan tinggi orthometrik. Selain berfungsi untuk penentuan tinggi ortometrik, geoid juga diperlukan dalam unifikasi sistem datum tinggi.


TEKNIK PENENTUAN GEOID

Pada prinsipnya geoid (model geopotensial) dapat diturunkan dari data gaya berat sebagai data utamanya yang distribusinya mencakup seluruh permukaan bumi. Akurasi suatu model geopotensial terutama ditentukan oleh kualitas data gaya berat, selain juga ditentukan oleh formulasi matematika yang digunakan ketika menurunkan model tersebut. Data gaya berat dapat diperoleh dari pengukuran secara terestris menggunakan gravimeter, dari udara dengan teknik air borne gravimetry, dan diturunkan dari data satelit (satelit sistem geometrik seperti satelit altimetry (wilayah laut) dan satelit sistem dynamic seperti GRACE dan GOCCE, serta melalui interpolasi untuk wilayah-wilayah yang tidak ada data gayaberatnya.


TEKNIK PENENTUAN GEOID DARI PENGUKURAN GRAVIMETER

Pengukuran gaya berat untuk membuat model geoid dengan cara terestris menggunakan alat gravimeter adalah pengukuran gaya berat langsung di permukaan bumi. Alat gravimeter ditempatkan di titik-titik ukur dan kemudian dilakukan pembacaan. Pada pengukuran ini salah satu stasiun pengamatan biasanya sudah harus diketahui harga gaya beratnya (pengukuran gaya berat relatif). Pada stasiun yang telah diketahui harga gaya beratnya dilakukan pembacaan skala mikrometer, kemudian gravimeter dipindahkan ke stasiun berikutnya dan dilakukan pembacaan mikrometer, sehingga melalui pembacaan mikrometer diketahui perubahan gaya berat antara dua stasiun yang telah dilakukan pengukuran tersebut.

Pada pengukuran gaya berat untuk pembuatan model geoid secara terestris dengan menggunakan instrumen gravimeter akan bermasalah jika daerah observasi cukup luas dengan kondisi topografi yang sulit dijangkau seperti hutan belantara, pengunungan, gunung es, dan juga lautan yang luas. Hal ini akan memakan waktu yang sangat lama dan tenaga yang cukup besar, yang berarti biaya yang dikeluarkan akan sangat besar pula.


TEKNIK PENENTUAN GEOID DENGAN AIRBORNE GRAVIMETRY

Penetuan gaya berat untuk menentukan model geoid dengan metode (GPS) Air -Borne Gravimetry merupakan pengukuran gaya berat di udara dimana gravimeter dilengkapi juga dengan GPS receiver yang ditempatkan di pesawat terbang besama-sama. Gaya berat yang diukur oleh Gravimeter merupakan percepatan total yang dialami oleh pesawat terbang. Untuk memperoleh nilai gaya berat free-air, maka komponen koreksi seperti koreksi eotvos, koreksi percepatan horisontal pesawat, koreksi percepatan vertikal pesawat dan koreksi free-air harus ditentukan lebih dahulu. Untuk menentukan besarnya koreksi-koreksi tersebut dibutuhkan informasi posisi 3D, kecepatan dan percepatan pesawat dalam arah vertikal dan horisontal yang mana dapat diberikan oleh GPS.

Dengan pengamatan GPS, maka informasi posisi 3D, kecepatan dan percepatan pesawat terbang dapat ditentukan secara teliti. Di samping itu GPS juga dapat digunakan sebagai sistem navigasi pesawat terbang pada saat survey dengan metode real time DGPS (Differential Global Positioning System)

TEKNIK PENENTUAN GEOID DENGAN SATELIT SISTEM GEOMETRIK

Teknik penentuan gravity field dan kemudian geoid dengan menggunakan teknologi satelit secara geometrik yaitu diantaranya dengan memanfaatkan kombinasi dari satelit altimetri dengan satelit GPS. Teknik kombinasi dari satelit altimetri dengan satelit GPS (teknik geometrik) secara prinsip sederhananya yaitu dengan membandingkan jarak yang diperoleh dari satelit altimetri dengan tinggi yang diperoleh dari GPS dalam fungsi waktu.

TEKNIK PENENTUAN GEOID DENGAN SATELIT SISTEM DYNAMIC

Metode penentuan gravity field dan geoid menggunakan misi-misi dari Satelit Gravimetri mulai banyak dikembangkan saat ini. Jika bumi dianggap sebagai ellipsoid dengan massa yang homogen, maka medan gaya beratnya akan memiliki suatu medan massa tertentu dan orbit satelit akan berbentuk ellips yang sempurna. Dengan melakukan penjejakan terhadap satelit, maka kita dapat menentukan seberapa besar penyimpangan orbit satelit dan kemudian dapat dihitung seberapa besar perbedaan medan gaya berat bumi dibandingkan dengan massa sebuah titik. Ini merupakan cara yang baik untuk mendapatkan kenampakan gelombang panjang (long wavelength) dari medan gaya berat. Misi Satelit Gravimetri diantaranya bernama GRACE (Gravity Recovery And Climat Experiment) dan GOCE (Gravity field and steady-state Ocean Circulation Explorer).

STUDI GEOID TELITI BAGI WILAYAH INDONESIA

Geoid memiliki peran yang penting dalam berbagai hal seperti untuk keperluan aplikasi geodesi, oseanografi, dan geofisika. Contoh untuk bidang ilmu geodesi yaitu penggunaan teknologi GPS dalam penentuan tinggi orthometrik untuk berbagai keperluan praktis seperti rekayasa, survei, dan pemetaan membutuhkan infomasi geoid teliti. Hal Ini disebabkan karena tinggi GPS adalah bersifat geometrik karena mengacu pada bidang matematis ellipsoid, sedangkan tinggi yang diperlukan untuk keperluan praktis adalah tinggi yang mempunyai arti fisik di permukaan bumi yaitu tinggi orthometrik di mana bidang acuannya adalah geoid (bidang equipotensial yang identik dengan permukaan laut rata-rata tanpa gangguan). Beda tinggi antara ellipsoid dan tinggi geoid sangatlah bervariasi dan besarnya bisa mencapai puluhan meter, sehingga pemakaian langsung tinggi GPS (tinggi ellipsoid) itu menyebabkan penyimpangan puluhan meter terhadap tinggi orthometrik. Kesimpulannya penggunaan teknik GPS di Indonesia dalam penentuan tinggi orthometrik untuk berbagai keperluan praktis seperti rekayasa, survei, dan pemetaan seperti disebut di atas mengalami kendala karena hingga saat ini belum ada geoid teliti di wilayah negara kita.

Selain berfungsi untuk penentuan tinggi ortometrik, geoid juga diperlukan dalam penentuan datum geodetik di Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia yang terdiri dari kepulauan, dimana tiap-tiap pulau jaraknya cukup jauh bagi pengukuran-pengukuran geodesi secara terestris dan konvensional, menyebabkan jarring kontrol geodesi masih belum bersambungan dan dihitung pada permukaan ellipsoida yang berbeda-beda, dan karena informasi geoid terhadap ellipsoid-elipsoid tersebut belum diketahui, maka dianggap permukaan geoid adalah permukaan ellipsoid. Jadi data-data pada permukaan geoid (air laut rata-rata) digunakan langsung untuk keperluan hitungan pada permukaan ellipsoid (development method), dengan titik awal hitungan yang berbeda-beda, yang satu dengan yang lainnya belum diketahui hubungannya.
Karena hitung-hitungan geodesi dilakukan dengan menggunakan data-data pada geoid (air laut rata-rata), maka hasil hitungan yang dilakukan pada permukaan ellipsoid belumlah merupakan hasil akhir. Dengan diketahuinya informasi geoid di daerah Indonesia terhadap permukaan ellipsoid (bidang hitung) yang digunakan, maka penyelesaian (finalisasi) hitungan jaringan kontrol geodesi dalam suatu sistem geodesi tunggal di Indonesia (the Indonesian Unified Geodetic System), akan menjadi kenyataan. [Kahar, 1978].

Kajian Permasalahan Datum Geodetik Batas Wilayah Negara

Republik Indonesia mempunyai batas maritim dengan 10 negara tetangga yaitu Australia, Timor Leste, Papua New Guinea (PNG), Palau, Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan India. Dalam penataan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut, menurut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim, dengan batas-batas maksimum (dihitung dari garis pangkal atau garis dasar) yang ditetapkan sebagai berikut [Agoes, 2002]: laut teritorial (territorial sea), zona yang merupakan bagian dari wilayah negara sebesar 12 mil laut, zona tambahan (contiguous zone), dimana negara memiliki yurisdiksi khusus sebesar 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif (ZEE), zona dimana negara memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya di atas dasar laut sampai permukaan laut serta pada dasar laut serta tanah di bawahnya sebesar 200 mil laut, dan terakhir landas kontinen (continental shelf), zona dimana negara memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam pada dasar laut serta tanah di bawahnya (antara 200 - 350 nm atau sampai dengan 100 nm dari isobath (kedalaman) 2500 meter).

Garis batas antara Indonesia dan negara-negara tersebut untuk setiap zona maritim yang sudah ada, biasanya akan diberikan berupa daftar koordinat geodetik (lintang,bujur) dari titik-titik batas. Namun demikian untuk informasi koordinat batas yang ada tersebut tidak jelas menyebutkan datum geodetik (sistem referensi koordinat) nya. Ketidakjelasan tentang datum geodetik dari titik-titik batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga ini perlu secepatnya dikaji dan dievaluasi sebelum timbul permasalahan kelak.


PENTINGNYA DATUM GEODETIK PADA LINGKUP BATAS WILAYAH

Ketidak-jelasan mengenai masalah datum geodetik dalam penentuan titik batas akan menimbulkan masalah ketika melakukan implementasi di lapangan, dan dapat juga menjadi masalah baru dalam penuntasan perjanjian penetapan batas wilayah. Untuk dua datum yang berbeda, datum shift dapat mencapai nilai ratusan meter untuk salah satu atau semua salib sumbunya. Seperti contoh datum shift AGD66 dengan WGS84 untuk sumbu X bernilai 130-an meter, sumbu Y bernilai 50-an meter, dan sumbu Z bernilai 140-an meter.

Dengan keragu-raguan yang kita miliki mengenai datum geodetik batas wilayah, sangat lah jelas dapat menimbulkan masalah dalam hal implementasi dilapangan. Dengan keraguan posisi sampai ratusan meter akan membuat ketidakpastian (dispute) dalam menetapkan batas tresspassing, atau batas kewenangan ekploitasi kawasan potensial. Dapat kita bayangkan ekses yang akan terjadi apabila kita menangkap nelayan asing namun ternyata salah tangkap karena salah koordinat dari datum yang tidak jelas, atau kita mengalami konflik daerah eksplorasi potensi besar minyak bumi karena salah koordinat batas dari datum yang tidak jelas. Oleh karena itu Datum Geodetik menjadi salah satu hal yang penting, untuk dijelaskan dan dipertegas dalam hal kepentingan batas wilayah.


KAJIAN DATUM GEODETIK BATAS (LAUT) INDONESIA DAN NEGARA TETANGGA

Untuk menjawab Ketidakjelasan tentang datum geodetik dari titik-titik batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga ini maka harus secepatnya dikaji dan dievaluasi sebelum timbul permasalahan kelak. BAKOSURTANAL bekerjasama KK Geodesi kemudian akhirnya melakukan studi kajian terhadap aspek datum geodetik dari koordinat titik-titik batas dari zona-zona maritim yang telah ditetapkan antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya serta permasalahan yang terkait.

Tujuan yang hendak dicapai dari studi kajian ini adalah untuk mengetahui status dan karakteristik dari datum geodetik yang digunakan sebagai referensi bagi koordinat titik-titik batas dari zona-zona maritim yang telah ditetapkan antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya; berikut permasalahan-permasalahan yang terkait serta alternatif solusi penanganannya.


Metodologi Pelaksanaan Kajian

Studi pengkajian datum geodetik batas maritim Indonesia dengan negara tetangga ini pada prinsipnya merupakan suatu studi pengkajian akademik. Studi ini merupakan kerjasama antara Bakosurtanal dan ITB, serta melibatkan (secara langsung maupun tak langsung) nara sumber dari beberapa institusi pemerintah yang mengelola batas maritim negara, baik di dalam negeri (contohnya Departemen Luar Negeri dan Dishidros TNI-AL) maupun di negara-negara tetangga yang berbatasan. Dalam pelaksanaan pekerjaan ini, ITB sebagai pelaksana pekerjaan bekerjasama secara aktif dengan Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL. Kegiatan pembahasan dan rapat koordinasi dilaksanakan secara bergiliran di kedua tempat tersebut.

Hasil dari studi pengkajian semacam ini akan sangat tergantung pada kelengkapan serta kualitas data dan informasi yang terkait dengan batas maritim antara Indonesia dan negara-negara tetangga yang diperoleh. Oleh sebab itu dalam studi ini inventarisasi dan pengumpulan data dan informasi dilaksanakan secara intensif dari perbagai sumber yaitu : tulisan, dokumen perjanjian, majalah dan buku yang terkait, situs internet, data dan informasi dari instansi pengelola batas maritim di dalam negeri maupun di negara-negara tetangga, wawancara dan komunikasi (langsung dan tak langsung) dengan para sumber dari dalam maupun luar negeri, dan data serta informasi yang diperoleh dari seminar/workshop sosialisasi.

Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan selanjutnya dilakukan proses evaluasi dan analisa terhadap data dan informasi tersebut. Dalam hal ini evalusi dan analisa ditekankan pada aspek dan dampak geometrik dari beberapa alternatif datum geodetik yang memungkinkan (untuk kasus dimana datum geodetik tidak disebutkan) serta aspek transformasi datum (untuk kasus dimana datum geodetiknya sudah ditetapkan). Proses analisa dan evaluasi ini bertujuan untuk mendapatkan kejelasan yang lebih baik menyangkut status dan karakteristik dari datum geodetik dalam penetapan batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga nya, serta alternatif penanganannya seandainya diperlukan.

Dalam kasus dimana datum geodetik yang melandasi koordinat titik-titik batas tidak disebutkan dalam perjanjian batas yang terkait, maka informasi langsung dari pihak yang terlibat dengan penetapan batas tersebut baik dari pihak Indonesia ataupun pihak negara tetangga yang terkait, perlu didapatkan. Dalam hal ini tim pengkajian berusaha untuk bertatap muka dan berdiskusi langsung dengan pihak-pihak tersebut. Seandainya sudah ada kejelasan tentang datum geodetik yang bersangkutan, maka seandainya datum tersebut berbeda dengan datum WGS84, tim pengkajian berusaha menginventarisir parameter transformasi antara kedua datum tersebut yang sudah pernah ditentukan sebelumnya oleh pihak-pihak lainnya. Seandainya nilai parameter transformasi tersebut belum ada maka studi pengkajian ini akan menyusun mekanisme penentuannya, untuk dilaksanakan kelak pada waktu yang dianggap tepat.


CONTOH KAJIAN DATUM GEODETIK BATAS LAUT INDONESIA -PAPUA NEW GUINEA

Batas maritim antara Indonesia dengan Papua New Guinea mulai diupayakan melalui meja perundingan dan perjanjian pada tahun 1971, 1973, dan 1980. Pada tahun 1971 pemerintah Indonesia dan pemerintah Commonwealth Australia mengadakan perjanjian penetapan batas-batas dasar laut tertentu antara pemerintah Indonesia dan Australia, dan salah satunya di bahas dan dibuatkan perjanjian (pasal 3) mengenai batas daerah dasar laut di depan pantai selatan pulau Irian yang masing-masing dimiliki oleh Indonesia untuk bagian sebelah barat, dan Papua New Guinea di bagian sebelah timur. Sementara itu pada pasal 4 disebutkan mengenai perjanjian penetapan batas daerah dasar laut di depan pantai utara pulau Irian
Pada tahun 1973 pemerintah Indonesia, pemerintah Commonwealth Australia, dan Papua New Guinea mengadakan perjanjian kembali untuk penetapan batas daerah tertentu antara pemerintah Indonesia dan Papua New Guinea dengan salah satunya mengatur batas daerah dasar laut di depan pantai sebelah selatan pulau Irian yang dituangkan dalam pasal 3 dan pasal 4 isi perjanjian.

Pada tanggal 13 Desember 1980 di Jakarta telah ditandatangani “Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-batas Maritim antara Republik Indonesia dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang Masalah-masalah yang bersangkutan” sebagai hasil perundingan antara Delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Delegasi Pemerintah Papua Nugini.


Titik Batas Daerah Indonesia Papua New Guinea di Laut

Berdasarkan hasil perundingan kemudian dilanjutkan dengan Perjanjian mulai dari tahun1971 sampai dengan 1980 diperoleh titik-titik batas daerah dasar laut ( titik batas laut teritorial dan landas kontinen ) antara Indonesia dan Papua New Guinea adalah garis-garis lurus lateral yang menghubungkan 6 (enam) buah titik batas di depan pantai selatan pulau Irian dan 2 (dua) buah titik batas di depan pantai utara pulau Irian.

Selanjutnya berdasarkan pasal 6 Perjanjian penetapan batas tahun 1971 dan pasal 9 perjanjian penetapan batas tahun 1973 dinyatakan bahwa titik-titik batas tersebut adalah koordinat geografis, dan. dinyatakan bahwa lokasi sebenarnya dari titik-titik batas tersebut di laut akan ditentukan menggunakan metode yang disepakati bersama oleh instansi yang berkompeten dari kedua belah pihak, dalam hal ini instansi yang berkompeten dari pihak Indonesia yaitu Ketua BAKOSURTANAL dan dari pihak Papua New Guinea adalah Direktur Nasional Mapping, atau masing-masing orang yang mewakilkannya.


Perkiraan DATUM Gedetik yang digunakan?

Pada naskah perjanjian antara Indonesia, Australia, dan Papua New Guinea tersebut tidak dicantumkan secara spesifik datum geodetik yang digunakan dalam menentukan nilai koordinat titik batas tersebut. Namun pada perjanjian batas daerah dasar laut antara Australia dengan Papua New Guinea pada tahun 1978 (tepatnya 18 desember 1978) pada pasal 1 paragraf 2 secara tertulis disebutkan bahwa datum geodetik yang dipergunakan adalah Australian Geodetic Datum (66).

Melihat fakta di atas, maka alasan kuat bisa kita sampaikan bahwa ketika melakukan perjanjian yang melibatkan Indonesia (Indonesia – Australia – Papua New Guinea) juga kemungkinan besar melibatkan datum geodetik bernama Australian Geodetic Datum (66) dengan alasan aspek keseragaman dan kesamaan daerah.

Perlu juga dicatat di sini bahwa secara umum jarak batas daerah dasar laut antar ke-6 titik di selatan pulau Irian adalah berkisar antara 2 sampai 53 MILES, dengan kedalaman laut pada lokasinya berkisar 200 meter atau kurang. Sementara itu di bagian utara pulau Irian hanya ada dua titik dengan jarak antar titik tersebut sekitar 27 miles, dengan kedalaman laut yang curam mencapai 9000 feet [US Analysis]


Analisis Permasalahan Akibat Ketidakjelasan Datum Geodetik

Ketidak-jelasan mengenai masalah datum geodetik dalam penentuan titik batas akan menimbulkan masalah ketika melakukan implementasi di lapangan, dan dapat juga menjadi masalah baru dalam penuntasan perjanjian penetapan batas wilayah.

Seperti kita ketahui bahwa datum shift dapat mencapai nilai ratusan meter untuk salah satu atau semua salib sumbunya. Seperti contoh datum shift AGD66 dengan WGS84 untuk sumbu X bernilai 130-an meter, sumbu Y bernilai 50-an meter, dan sumbu Z bernilai 140-an meter. Kalau kita lihat contoh kasus perjanjian batas Indonesia- Papua diketahui fakta bahwa datum geodetik tidaklah tersebut secara jelas apa yang digunakannya, dan kita hanya bisa menduga kemungkinan datumya AGD66, maka apabila kita ternyata salah dalam menduganya maka kesalahan mungkin kita peroleh dalam orde ratusan meter. Belum lagi apabila kita memperhitungkan masalah rotasi dan faktor skala antar datum serta “ketelitian parameter transformasi” datum itu sendiri, maka kita dapat menghadapi masalah yang cukup kompleks mengenai datum geodetik ini.

Dengan keragu-raguan yang kita miliki mengenai datum geodetik batas wilayah, sangat lah jelas dapat menimbulkan masalah dalam hal implementasi dilapangan. Dengan keraguan posisi sampai ratusan meter akan membuat ketidakpastian (dispute) dalam menetapkan batas tresspassing, atau batas kewenangan ekploitasi kawasan potensial. Dapat kita bayangkan ekses yang akan terjadi apabila kita menangkap nelayan asing namun ternyata salah tangkap karena salah koordinat dari datum yang tidak jelas, atau kita terlibat konflik eksplorasi potensi minyak bumi karena salah koordinat batas dari datum yang tidak jelas.

Secara umun permasalahan datum ini dapat di bagi menjadi beberapa kasus, yaitu pergeseran titik batas akibat adanya datum shift, tingkat kepercayaan ketelitian parameter transformasi antar datum, efek faktor skala antar datum terhadap jarak antar titik batas, ketelitian titik dasar, implementasi dan aspek legalitas hukumnya, dan kegiatan rekonstruksi.

Pemantauan Penurunan Tanah (land subsidence) di Kota-kota Besar dengan GPS

FENOMENA LAND SUBSIDENCE

Land subsidence (penurunan tanah) adalah suatu fenomena alam yang banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan sedimen, seperti Jakarta, Semarang, Bangkok, Shanghai, dan Tokyo. Dari studi penurunan tanah yang dilakukan selama ini, diidentifikasi ada beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu : pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Dari empat tipe penurunan tanah ini, penurunan akibat pengambilan air tanah yang berlebihan dipercaya sebagai salah satu tipe penurunan tanah yang dominan untuk kota-kota besar tersebut.

Karena data dan informasi tentang penurunan muka tanah akan sangat bermanfaat bagi aspek- aspek pembangunan seperti untuk perencanaan tata ruang (di atas maupun di bawah permukaan tanah), perencanaan pembangunan sarana/prasarana, pelestarian lingkungan, pengendalian dan pengambilan airtanah, pengendalian intrusi air laut, serta perlindungan masyarakat (linmas) dari dampak penurunan tanah (seperti terjadinya banjir); maka sudah sewajarnya bahwa informasi tentang karakteristik penurunan tanah ini perlu diketahui dengan sebaik-baiknya dan kalau bisa sedini mungkin. Dengan kata lain fenomena penurunan tanah perlu dipelajari dan dipantau secara berkesinambungan.


TEKNIK PEMANTAUAN LAND SUBSIDENCE

Pada prinsipnya, penurunan tanah dari suatu wilayah dapat dipantau dengan menggunakan beberapa metode, baik itu metode-metode hidrogeologis (e.g. pengamatan level muka air tanah serta pengamatan dengan ekstensometer dan piezometer yang diinversikan kedalam besaran penurunan muka tanah) dan metode geoteknik, maupun metode-metode geodetik seperti survei sipat datar (leveling), survei gaya berat mikro, survei GPS (Global Positioning System), dan InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar).


TEKNIK PEMANTAUAN LAND SUBSIDENCE DENGAN GPS

GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang berbasiskan pada pengamatan satelit-satelit Global Positioning System [Abidin, 2000; Hofmann-Wellenhof et al., 1997]. Prinsip studi penurunah tanah dengan metode survei GPS yaitu dengan menempatkan beberapa titik pantau di beberapa lokasi yang dipilih, secara periodik untuk ditentukan koordinatnya secara teliti dengan menggunakan metode survei GPS. Dengan mempelajari pola dan kecepatan perubahan koordinat dari titik-titik tersebut dari survei yang satu ke survei berikutnya, maka karakteristik penurunan tanah akan dapat dihitung dan dipelajari lebih lanjut.

GPS memberikan nilai vektor pergerakan tanah dalam tiga dimensi (dua komponen horisontal dan satu komponen vertikal). Jadi disamping memberikan informasi tentang besarnya penurunan muka tanah, GPS juga sekaligus memberikan informasi tentang pergerakan tanah dalam arah horisontal.

GPS memberikan nilai vektor pergerakan dan penurunan tanah dalam suatu sistem koordinat referensi yang tunggal. Dengan itu maka GPS dapat digunakan untuk memantau pergerakan suatu wilayah secara regional secara efektif dan efisien.

GPS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai beberapa mm, dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal. Dengan tingkat presisi yang tinggi dan konsisten ini maka diharapkan besarnya pergerakan dan penurunan tanah yang kecil sekalipun akan dapat terdeteksi dengan baik.

GPS dapat dimanfaatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu (siang maupun malam), dalam segala kondisi cuaca. Dengan karakteristik semacam ini maka pelaksanaan survei GPS untuk pemantauan pergerakan dan penurunan muka tanah dapat dilaksanakan secara efektif dan fleksibel.


Penelitian Land Subsidence di Jakarta dengan GPS

Land Subsidence telah cukup lama dilaporkan terjadi di wilayah Jakarta. Menurut para peneliti selama ini ada empat tipe land subsidence yang mungkin terjadi di basin Jakarta, yaitu subsidence karena pengambilan air tanah yang berlebihan, land subsidence karena beban bangunan, land subsidence karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta land subsidence yang diakibatkan oleh timbulnya gaya tektonik.

Secara umum informasi tentang karakteristik dan pola land subsidence (penurunan tanah) di wilayah Jakarta akan sangat bermanfaat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan yang berkelanjutan di wilayah Jakarta.
Pemantauan penurunan tanah di wilayah DKI Jakarta menggunakan teknologi satelit GPS telah dilasanakan secara periodik sejak tahun 1997 sampai dengan akhir tahun 2005 oleh KK Geodesi bekerjasama dengan BAKOSURTANAL dan Pemda DKI, dimana survei pengukurannya telah dilakukan sebanyak 5 periode pengamatan.

Dari hasil pengolahan data survey GPS memang diperoleh informasi mengenai adanya penurunan tanah di wilayah Jakarta, dimana daerah Jakarta utara merupakan wilayah yang cukup signifikan terjadi penurunan tanah. Besarnya penurunan tanah diwilayah Jakarta selama lima periode ini rata–rata berkisar antara beberapa centimeter sampai beberapa belas centimeter, dan di daerah tertentu ada yang mencapai beberapa puluh centimeter.


Penelitian Land Subsidence di Bandung dengan GPS

Land Subsidence memang belum banyak dilaporkan di wilayah Bandung. Namun demikian, dari hasil beberapa penelitian memperlihatkan adanya bukti land subsidence memang terjadi di daerah Bandung. Kemungkinan besar faktor yang menjadi sebab terjadinya subsidence di Bandung ini karena pengambilan air tanah yang berlebihan, disamping karena adanya efek konsolidasi dari lapisan tanah, dan efek lain.

Fenomena land subsidence (penurunan tanah) ini merupakan salah satu faktor yang cukup signifikan penyebab terjadinya banjir di suatu daerah atau kawasan. Ketika titik-titik yang mewakili suatu kawasan mengalami penurunan, yang menyebabkan daerah tersebut menjadi lebih rendah dari tempat-tempat lainnya (membuat cekungan), atau malah lebih rendah dari bentang hidrologi yang ada di sekitarnya, maka daerah tersebut akan menjadi daerah yang berpotensi banjir terutama ketika musim hujan tiba.

Pemantauan penurunan tanah di wilayah Bandung dan sekitarnya (Bandung Basin) menggunakan teknologi satelit GPS telah dilasanakan secara periodik oleh KK Geodesi bekerjasama dengan Dinas Pertambangan Jawa Barat sejak tahun 2000 sampai dengan akhir tahun 2005, dimana survei pengukurannya telah dilakukan sebanyak 5 periode pengamatan.

Dari hasil pengolahan data survey GPS memang diperoleh informasi mengenai adanya penurunan tanah di wilayah Bandung, dimana daerah Cimahi, Dayeuh Kolot, dan Cicalengka merupakan wilayah yang cukup signifikan terjadi penurunan tanah. Besarnya penurunan tanah di wilayah Bandung selama lima periode ini rata–rata berkisar antara beberapa centimeter sampai beberapa desimeter, dan di daerah yang disebutkan di atas mencapai beberapa puluh centimeter. Daerah-daerah tersebut adalah merupakan daerah Industri yang memang mengkonsumsi air tanah yang cukup banyak.

Studi Troposfer menggunakan GPS

ATMOSFER BUMI

Atmosfer adalah campuran gas yang mengelilingi permukaan bumi. Campuran gas ini mengitari bumi karena ditarik oleh gaya gravitasi yang ada pada bumi dan campuran gas ini disebut dengan udara. Lapisan gas tersebut mengelilingi bumi dengan ketebalan yang sulit untuk ditentukan secara teliti, namun ketebalan rata-rata dari atmosfer ini ditentukan kira kira 500 km [Spiegel & Gruber, 1983].

Udara bercampur secara baik di atmosfer. Meskipun bercampur, atmosfer mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam temperatur dan tekanan dalam setiap perbedaan ketinggiannya. Perbedaan ini didefinisikan ke dalam sejumlah lapisan atmosfer.

Lapisan atmosfer ini terdiri dari troposfer (0-16 km), stratosfer (16-50 km), mesosfer (50-80 km) dan termosfer (80-640 km). batas antara keempat lapisan ditentukan dengan perubahan temperatur yang mencolok, dan termasuk berturut-turut tropopause, stratopause, dan mesopause. Di dalam troposfer dan mesosfer, temperatur secara umum menurun sesuai dengan kenaikan ketinggian, sebaliknya pada stratosfer dan termosfer, temperatur naik seiring dengan kenaikan ketinggian [pettersen,1958;Miller et al,1983].

Hampir seluruh udara (90 %) mengandung uap air dan sisanya tidak mengandung uap air [Kurniawan, 1998]. Udara yang tidak mengandung uap air ini disebut dengan udara kering.


LAPISAN TROPOSFER

Lapisan troposfer merupakan persentase terbesar dari total masa atmosfer yaitu lebih dari 75%. Sedangkan sisanya menyebar pada lapisan yang lain [Spiegel &Gruber, 1983]. Troposfer tersusun atas nitrogen ( 78 %) dan oksigen (21 %) dengan hanya sedikit konsentrasi gas lainnya.

Penurunan rata-rata temperatur pada troposfer adalah 6.5° C/km [Pettersen, 1958]. Tingkat penurunan ini dikenal dengan susut temperatur rata-rata troposfer. Susut temperatur maksudnya adalah derajat penurunan temperatur. Di tempat yang temperaturnya berkurang sejalan dengan ketinggian seperti lazimnya pada troposfer susut temperaturnya adalah positif. Berkurangnya temperatur terhadap ketinggian pada troposfer ini disebabkan oleh [ Yulanda, 1997] : Pemanasan udara yang terbanyak berasal dari bumi, uap air dan debu yang menyerap panas, semakin keatas semakin berkurang, udara pada lapisan bawah lebih rapat daripada lapisan diatas sehingga udara pada lapisan bawah lebih panas

Ketika melalui troposfer, sinyal GPS akan mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan kecepatan dan arah sinyal GPS. Efek utama dari troposfer dalam hal ini adalah terhadap hasil ukuran jarak dari satelit GPS ke receiver GPS di permukaan [Abidin, 2000]. Data pseudorange dan data fase keduanya sama diperlambat oleh troposfer, dan besar magnitudo dari bias troposfer pada kedua data pengamatan tersebut adalah sama. Magnitudo dari bias troposfer berkisar sekitar ≈ 2.3 m di arah zenit sampai ≈ 20 m pada 100 m di atas horison [Abidin, 2000; Seeber, 1993; Wells et al, 1986].


Kandungan Uap Air dalam Troposfer

Uap air adalah air yang berada pada fase gas. kandungan uap air dalam troposfer menurun secara tajam dengan kenaikan ketinggian. Kandungan uap air memainkan peranan penting dalam mengatur temperatur udara karena menyerap radiasi matahari dan radiasi termal dari permukaan bumi. Uap air terbesar berada diatas daerah tropis. Jumlahnya bervariasi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun secara umum diperkirakan jumlah atau konsentrasi uap air di atmosfer berkisar antara hampir 0% sampai 4%. Maksudnya adalah 4 gram air untuk setiap 100 gram udara. Perubahan ekstrim menurut tempat dan waktu dari jumlah uap air di atmosfer tersebut disebabkan karena kemampuan air yang unik untuk berada pada tiga fase (gas, cair, dan padat) pada temperatur yang biasanya terdapat di bumi [Miller, 1983]

Dari jumlah yang berkisar antara 0 % sampai denga 4% tersebut, hampir keseluruhannya ( 99 %) berada pada lapisan troposfer. Pada troposfer, air pada bentuk cair ditemukan sebagai gerimis (hujan rintik), awan, kabut, dan embun. Es merupakan air dalam bentuk padat dan ditemukan dalam atmosfer dalam berbagai bentuk, seperti salju, hujan es (hail), hujan es yang bercampur salju, awan kristal es, dan butiran salju (snow pellets) [Spiegel &Gruber, 1983]. Sedangkan bentuk gas dari air disebut dengan uap air, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Semua fenomena cuaca terjadi di dalam lapisan troposfer. Ini disebabkan karena pegerakan vertikal atau konveksi udara membangkitkan awan-awan yang menyebabkan terjadinya hujan dari uap air dalam troposfer, dan memberikan banyak perubahan dalam cuaca.

Pada tropopause, temperatur mengalami kestabilan. Tropopause ini adalah lapisan yang membatasi troposfer dan stratosfer. Temperatur udara mulai meningkat di dalam stratosfer. Peningkatan temperatur mencegah terjadinya konveksi udara diluar tropopause, dan konsekuensinya banyak fenomena cuaca, termasuk awan petir cumulonimbus yang paling tinggi terjadi di dalam troposfer.

Jumlah kandungan uap air yang tepat yang berada pada setiap tempat dan waktu sangat penting untuk diketahui oleh para ahli meteorologi. Peranan penting yang dimaksud adalah [Miller, 1983] : Uap air merupakan penyerap radias yang sangat penting di udara dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan energi di atmosfer. Pelepasan panas laten dari proses kondensasi merupakan sumber energi yang penting untuk memelihara proses-proses cuaca yang terjadi di atmosfer. Kandungan uap air merupakan komponen yang sangat penting bagi peramalan cuaca.


STUDI TROPOSFER MENGGUNAKAN TEKNOLOGI GPS

Satelit GPS memancarkan sinyal-sinyal gelombang elektromagnetik yang sebelum diterima oleh antena receiver GPS akan melewati medium lapisan-lapisan atmosfer yaitu ionosfer dan troposfer. Dalam kedua lapisan ini, sinyal GPS akan mengalami gangguan (bias) sehingga jarak yang dihitung akan memberikan nilai yang mengandung kesalahan. Jarak digunakan untuk menghitung posisi titik. Dalam lingkup kajian GPS, kedua lapisan ini menjadi bias tersendiri yang harus dikoreksi sebelum menentukan posisi titik.

Bias yang disebabkan oleh adanya lapisan troposfer dan ionosfer ini ditambah dengan kesalahan orbit dan waktu akan menyebabkan kesalahan pada ukuran jarak dari satelit GPS ke antena receiver, yang akan menyebabkan kekurang telitian pada penentuan posisi pengamat. Oleh karena itu estimasi besaran bias troposfer dan ionosfer perlu dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih teliti. Bias yang diakibatkan oleh lapisan troposfer memberikan efek yang lebih signifikan jika diakibatkan oleh bias yang diakibatkan oleh lapisan ionosfer, terutama terhadap komponen tinggi yang di berikan oleh GPS [Abidin et al,1998].

Metode yang digunakan dalam penentuan bias troposfer ini adalah dengan menggunakan metode inversi GPS. Metode inversi ini pada dasarnya adalah menentukan besarnya penyimpangan jarak dari satelit GPS ke antena receiver GPS sebagai akibat dari perlambatan waktu tempuh selama sinyal melewati lapisan troposfer. Penyimpangan jarak akibat perlambatan waktu tempuh sinyal GPS umumnya disebut dengan Zenith Tropospheric Delay (ZTD). Harga ZTD ini nantinya dijadikan sebagai faktor koreksi untuk menentukan jarak dari satelit GPS ke antena receiver GPS yang bebas pengaruh troposfer.

Besaran ZTD juga dapat digunakan untuk mengkarakterisasi dan menganalisis kondisi troposfer di sekitar daerah pengamatan GPS. Hal ini dapat dilakukan dengan memisahkan komponen basah (wet component) dari ZTD, sehingga diperoleh ZWD (Zenith Wet Delay) yang lebih dikenal dengan sebutan wet delay. Wet delay yang diperoleh selanjutnya akan dipantau dan dipetakan, yang pada tahapan berikutnya akan dianalisis untuk berbagai keperluan aplikasi, terutama dalam bidang meteorologi (GPS-Meteorology).

Analisis dari pemantauan wet delay terhadap kondisi meteorologis suatu daerah tentunya berlainan antara yang satu dengan yang lainnya, diantaranya tergantung dari lokasi geografis dan kondisi topografis dari daerah penelitian tersebut. Selain itu cakupan wilayah juga menjadi faktor penting dalam analisis tersebut.


Studi Kondisi Troposfer di Kota Bandung

KK Geodesi bekerjasama dan KK dari prodi Geofisika Meteorologi telah melakukan penelitian atau studi GPS Meteorologi. Akronim GPS Meteorologi ini yaitu teknik pemantauan karakteristik troposfer dengan memanfaatkan inversi data GPS. Studi GPS Met ini dilakukan oleh KK Geodesi diantaranya di daerah kota Bandung dan sekitarnya.

Akuisisi data dilakukan sebanyak empat kala. Kala pertama dan kedua pada bulan September dan November 2001, sedangkan yang ketiga dan keempat adalah pada bulan Juni dan Agustus 2002. Setiap kala, pengamatan dilakukan pada satu hari penuh. Dimulai dari pukul 09.00 sampai pukul 17.07 WIB. Selama delapan jam pengamatan itu, diupayakan setiap jam-nya terdapat titik-titik sampel stasion pengamatan GPS yang mewakili kota Bandung. Untuk setiap jam pengamatan, dibagi ke dalam tiga segmen waktu pengamatan. Tiap segmen waktu dimulai dari menit ke-0, menit ke-20, dan menit ke-40. lamanya pengamatan tiap segmen adalah tujuh (7) menit dengan epoch interval sebesar 3 detik, elevation mask angle sebesar 150.

Setelah pengambilan data lapangan selesai, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data GPS, yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komersial SKI PRO. Strategi pengolahan dilakukan dengan mereduksi secara maksimum kesalahan dan bias yang ada, sehingga yang tertinggal hanyalah hasil inversi yang berupa data ZWD. Selanjutnya masing-masing titik amat diplot posisi geografisnya dalam sistem koordinat UTM, dan data ZWD untuk masing-masing titik amat itu kemudian dijadikan sebagai data kontur pada pengeplotan posisi dalam sistem koordinat UTM. Peta ‘kontur PWV’ itu diasumsikan merupakan peta dari satu jam pengamatan GPS. Pada akhirnya akan merupakan suatu rangkaian “peta kandungan uap air relatif kota Bandung” untuk1 hari pengamatan yang dilakukan.

Dari hasil pengolahan data diperoleh kesimpulan yaitu kecenderungan umum wet delay kota Bandung meningkat dari barat laut hingga ke tenggara. Kecenderungan ini nampak dari semua peta yang dibuat. Meskipun setiap peta memiliki karakterisitik sendiri yang membedakan dengan peta lainnya. Ditinjau dari segi ketinggian daerah, Semakin tinggi posisi titik di permukaan bumi, maka harga wet delay akan rendah pula. Lihat juga [Wedyanto et.al, 2001 a] untuk penelitian kondisi udara di Gunungapi Batur. Kondisi geografis kota Bandung berada di daerah tropis yang bertekanan rendah. Sehingga udara mengalir dari 300 LU dan 300 LS. Aliran udara dari 300 LU disebut angin pasat timur laut. Sedangkan yang berasal dari 300 LS disebut angin pasat tenggara [Setyoko, 1984]. Selain dipengaruhi oleh angin pasat, iklim di kota Bandung juga dipengaruhi angin musim (monsun) [Avia, 1994].

Kondisi meteorologis kota Bandung juga dipengaruhi oleh kondisi lokal. Kondisi lokal ini bisa berupa penguapan, curah hujan, pemanasan permukaan bumi, partikel buangan industri atau kendaraan bermotor maupun dari aktivitas masyarakat. Diduga tekanan massa udara (angin) datang dari arah selatan-tenggara menuju pusat kota Bandung. Disinilah terjadi suatu ‘benturan’, ketika angin itu membentur angin yang berasal dari arah utara melalui celah Lembang. Benturan itu kemudian bergerak ke arah timur laut. Selanjutnya, ketika cuaca cerah, terjadi penguapan sehingga kandungan uap air meningkat. Peningkatan ini semakin besar ketika cuaca mulai mendung karena akan segera turun hujan. Sedangkan ketika hujan turun, kandungan uap air berkurang. Setelah hujan selesai, perbedaan kandungan uap air terjadi di beberapa daerah. Ada yang kembali meningkat, yang relatif tidak berubah, ada juga yang malah berkurang. Perbedaan ini diduga karena lebih banyak dipengaruhi aktivitas lokal lainnya.

Pusat Kota Bandung, secara umum menunjukkan aktivitas berbeda dengan lokasi lain, yang ditunjukkan dengan tingginya komponen basah (wet delay) disaat komponen basah di lokasi-lokasi lain sedang rendah, demikian sebaliknya. Hal ini berarti berkorelasi dengan kepadatan penduduk di daerah tersebut dengan komponen basah yang dihasilkan. Walaupun demikian, secara umum juga dapat dideteksi bahwa pada pk.16:00-17:00 kondisi basah berkurang di seluruh cekungan Bandung.

Thursday, July 16, 2009

Sekilas tentang prinsip GPS

Bagaimana GPS bekerja, kita bisa bagi menjadi 5 tahapan atau konsep GPS itu bekerja sebagai berikut :

1. Dasar dari GPS adalah konsep triangulasi dari beberapa satelit. Metode triangulasi merupakan metode penentuan titik menggunakan prinsip-prinsip segitiga

2. Untuk melakukan proses triangulasi, receiver GPS mengukur jarak dengan dasar waktu yang diperlukan oleh sinyal radio untuk melakukan perjalanan dari transmitter yang ada di satelit ke receiver GPS kita.

3. Untuk mengukur lamanya waktu perjalanan, GPS memerlukan waktu yang sangat akurat dimana dicapai dengan melakukan beberapa trik atau cara.

4. Seiring dengan jarak, Kita juga harus mengetahui secara tepat dimana posisi satelit GPS berada. Kuncinya adalah mengetahui tinggi orbit satelit GPS dan memantau satelit GPS itu dalam orbital.

5. Terakhir, Anda harus mengkoreksi untuk setiap keterlambatan sinyal radio GPS setelah melewati perjalanan melalui lapisan Atmospere

Dibalik itu semua, sebenarnya ide dasar penghitungan posisi menggunakan GPS adalah kita menggunakan posisi satelit GPS yang berada di ruang Angkasa dijadikan titik referensi untuk menentukan posisi titik di bumi. Dengan pengukuran yang sangat akurat jarak dari minimal 3 satelit GPS kita dapat menentukan posisi di manapun di bumi dengan metode triangulasi.

Geometri satelit GPS

Misal kita mengukur jarak kita dari satelit dan diperoleh hasil 11.000 mil. Perlu diketahui dengan jarak 11000 mil dari satelit yang sangat jauh, semua akan terlihat cakupan yang luas dan seolah-olah bumi yang dilihat dari satelit terpusat menjadi satu titik. Yang jadi pertanyaan, bagaimana kita dapat mengukur jarak dari sesuati yang bergerak? Jawabannya sama yaitu dengan menghitung berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengirim sinyal dari satelit GPS ke tempat receiver GPS itu berada. Jadi dimanapun receiver GPS itu, di pesawat udara, kapal laut atau kendaraan di darat tidak menjadi masalah.

Perlu diingat pula bahwa mengukur perjalanan waktu sinyal radio GPS itu merupakan suatu hal yang penting, sehingga settingan waktu pada receiver GPS harus benar-benar tepat. Seandainya setting waktu receiver GPS berhenti ataupun berbeda seperseribu detik pun itu berpengaruh. Begitupula jam atau setting waktu GPS Satelit, jamnya mati atau telat seperseribu detik, maka dengan konversi kecepatan cahaya, kesalahan sinyal yang ditransmisikan errornya sekitar 200 mil. Tapi tenang, di bagian satelit GPS telah menggunakan jam yang sangat akurat, karena satelit GPS dilengkapi dengan jam atom di dalamnya.

Bagaimana dengan jam receiver GPS kita yang di bumi ?

Harap diingat bahwa keduanya antara satelit GPS dengan receiver GPS harus benar-benar sinkron terhadap masing-masing code pseudo randomnya, untuk membuat system GPS berjalan benar. Apabila receiver GPS kita memerlukan jam atom (dimana biayanya sekitar 50 ribu dollar sampai 100 ribu dollar), maka GPS menjadi teknologi yang tidak berguna, karena tentunya kita susah untuk mengeluarkan uang sebesar itu untuk sebuah teknologi.

Untungnya para pakar GPS mencoba dengan ide jitunya memberikan trik-trik mengenai akurasi jam pada receiver GPS kita. Trik ini merupakan salah satu elemen kunci dari GPS dan telah ditambahkan manfaat keakuratan jam atom pada GPS receiver. Rahasia untuk mendapatkan waktu yang tepat adalah dengan melakukan pengukuran atau pengamatan satelit GPS lebih banyak. Benar, dengan menggunakan pengukuran 3 satelit GPS, maka dapat menentukan posisi suatu titik dalam suatu bentuk ruang 3 dimensi, begitu juga dengan mengukur menggunakan 4 satelit GPS dapat mendapatkan hasil lebih baik.

Sumber: www.risnandarweb.com

Peta Bidang

Peta bidang tanah adalah hasil pemetaan 1 (satu) bidang tanah atau lebih pada lembaran kertas dengan suatu skala tertentu yang batas-batasnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan digunakan untuk pengumuman data fisik (pasal 1 ayat 6) . Dari definisi diatas, jelas dimaksudkan bahwa setiap data hasil pengukuran bidang tanah baik yang dilaksanakan secara sistematik maupun sporadik harus dibuatkan peta bidang tanahnya.

Peta bidang tanah ini selain merupakan bagian (lampiran) DI 201 B pada pendaftaran tanah sporadik dan DI 201C pada pendaftaran tanah sistematik, yang digunakan sebagai salah satu data fisik pada pengumuman, juga dapat digunakan untuk melengkapi peta pendaftaran yang telah tersedia. Pembuatan peta bidang tanah adalah berdasarkan data gambar ukur baik itu dilakukan dengan cara pengukuran terrestrial atau dengan cara identifikasi pada peta foto. Oleh karena itu pembuatan peta bidang sebenarnya adalah salinan/kutipan dari manuskrip (kartiran) sehingga bentuk dan ukuran luasnya dianggap relatif benar.

A. Metoda Pembuatan Peta Bidang Tanah

Format dan ukuran kertas hasil akhir (hard copy) dari peta bidang tanah yaitu ukuran A3 pada kertas HVS 80 gram (pasal 31 ayat 3), dengan demikian untuk blanko (bingkai) peta ini dapat disediakan/ dicetak terlebih dahulu atau apabila pembuatannya secara dijital dapat dibuat dengan file tersendiri.

Gambar Bingkai peta (a) dibuat secara manual, (b) file dijital

Sedangkan data yang di extract (digabungkan) dapat berupa batas bidang-bidang tanah, jalan sungai atau benda benda lain yang dapat dijadikan petunjuk untuk memudahkan mengenal lokasi bidang tanah (pasal 31 ayat 5e,f).

A.1. Metoda Manual

Secara manual peta bidang tanah dibuat pada blanko (bingkai) peta bidang tanah yang telah disiapkan terlebih dahulu, menggunakan skala yang sama dengan peta asalnya. Cara manual hanya dapat dilakukan dengan cara menyalin atau mengutip bidang-bidang tanah dan detail situasi penting lainnya dengan cara menempatkan manuskrip pada meja gambar (meja kaca dengan lampu penerang) dan diatasnya ditempatkan bingkai peta bidang tanah sedemikian rupa sehingga bidang-bidang tanah yang akan disalin menempati posisi yang cukup simetris .

Gambar Penyalinan manuskrip menjadi peta bidang tanah

Manuskrip/ peta yang dapat digunakan untuk disalin menjadi peta antara lain :

1. Manuskrip (kartiran gambar ukur) yang dikerjakan secara manual ;

2. Kartiran gambar ukur (GU) pada peta dasar pendaftaran, jika peta dasar pendaftaran berupa peta garis (pasal 32 ayat 1).

3. Kartiran pada peta dasar pendaftaran berupa peta foto yang merupakan hasil identifikasi batas pemilikan dan pengukuran sisi-sisi bidang tanah (pasal 32 ayat 2).

A.2 Metoda Dijital

Peta bidang tanah yang dibuat secara dijital merupakan extraction (ektraksi) bidang-bidang tanah yang diambil dari :

1. Manuskrip/ kartiran gambar ukur yang dikerjakan secara dijital ;

2. Hasil dijitasi peta dasar pendaftaran dijital baik peta garis atau peta foto yang telah melalui proses editing sesuai hasil penetapan batas, identifikasi dan data ukuran sisi-sisinya ;

B. Tata Cara Pembuatan Peta Bidang Tanah
Pembuatan peta bidang tanah pada pendaftaran tanah sistematik harus dibuat sedemikian rupa dengan batas wilayah yang jelas, misalnya digambarkan satu blok atau satu RT. Jika tidak dapat digambarkan per blok/ RT, maka dibuat secukupnya sesuai format yang ada, hanya perlu ditambahkan dengan informasi nomor peta bidang tanah dan informasi lembar bersebelahan untuk memudahkan sistim penyimpanan dan pencariannya jika diperlukan . Informasi nomor lembar ini dapat dicantumkan pada kolom/kotak keterangan.

Agar masyarakat dapat dengan mudah membaca hubungan antara obyek pada peta bidang tanah dengan subyek pada daftar bidang tanah (DI 201B dan atau DI 201C) maka pada peta bidang tanah dicantumkan masing-masing nomor bidangnya.
Nomor bidang adalah 5 (lima) digit terakhir dari NIB, tanpa angka 0 nya, misal NIB bidang tanah tersebut ; 0904010600231, maka nomor bidang tersebut adalah 231 (pasal 31 ayat 5 g) . Detail situasi penting yang digambarkan antara lain jalan/ gang berikut namanya, sungai serta arah aliran dan namanya, tempat ibadah, dan detail lainnya yang dapat memperjelas informasi dan memudahkan untuk dikenali oleh masyarakat, misalnya transmisi tegangan tinggi.

Pada pendaftaran tanah sporadik pembuatan peta bidang tanah harus dilengkapi dengan informasi kepemilikan bidang berbatasan, dan jika terdapat bidang tanah yang berbatasan tersebut telah terdaftar maka perlu dicantumkan nomor bidangnya (bila telah tertata sesuai PMNA/Ka.BPN No.3/1997) atau dicantumkan nomor hak dan nomor GS/SU jika masih belum tertata sesuai PMNA/Ka.BPN No. 3/1997. Sedangkan bidang tanah yang belum terdaftar dicantumkan nama pemegang hak dan status tanahnya.

Dalam penggambaran perlu di perhatikan :

1. Penomoran nomor bidang harus jelas, jangan sampai terjadi keraguan membaca, misalnya antara angka 0 dengan 6, 3 dengan 8, 2 dengan 5 dan 2 dengan 7.

2. Penggambaran bidang harus jelas, dengan ukuran tebal garis 0.2 mm

3. Penomoran bidang diatas harus sesuai dengan daftar lampirannya (daftar bidang tanah).

Apabila terjadi sanggahan selama masa pengumuman, maka bidang tanah tersebut harus dilaksanakan pengecekan ulang. Prosedur pengecekan dimulai dari pembuatan peta bidang tanah, perhitungan luas sampai dengan pembuatan gambar ukurnya. Apabila hasil dari pemeriksaan tersebut tidak terdapat keraguan, maka perlu dilaksanakan pengukuran ulang dengan memperhatikan batas-batas tanah yang telah ditetapkan.

Diagram Skema pengecekan ulang

Jika ternyata terjadi kesalahan dalam proses pembuatan peta bidang ini maka harus dilakukan perubahan atau dibuat peta bidang baru. Peta bidang lama dimusnahkan (pasal 33 ayat 1 dan pasal 35 ayat 2). Pada kartiran (manuskrip) dilakukan perubahan sesuai dengan data yang benar.

B.1. Peralatan, Bahan dan Ukuran Peta

1. Peralatan yang digunakan jika dilaksanakan secara manual adalah :

a. Lettering Set, scriber dan rapido
b. Penggaris, penghapus, pinsil
c. Jangka tusuk (stick passer)

2. Peralatan yang digunakan jika dilaksanakan secara dijital adalah :

a. 1 (satu) set komputer 386 IBM/Compatible atau lebih tinggi
b. Software CAD (AutoCad, MicroStation, PC. Arc/Info, dll)
c. Plotter A3, Printer Grafik atau plotter jenis lain yang memenuhi syarat pemetaan dijital.

3. Bahan Dan Ukuran Peta

Peta bidang tanah dibuat dengan menggunakan kertas HVS 80 gram ukuran A3 double quarto (pasal 31 ayat 3).
B.2. Petugas Pelaksana

Petugas yang melaksanakan pembuatan peta bidang tanah adalah :

1. Satgas pengukuran dan pemetaan, jika pengukuran dan pendaftaran tanah sistematik ajudikasi dan pengesahannya oleh ketua ajudikasi.

2. Pihak ketiga, jika pengukuran dilaksanakan oleh pihak ketiga dan pengesahannya oleh Kepala Kantor Pertanahan.

3. Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau petugas yang ditunjuk dan pengesahannya dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk (Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah).

B.3. Format Lembar Peta

Bingkai peta bidang tanah dibuat sebagai berikut :

1. Ukuran bidang gambar adalah 30 cm x 25 cm .
2. Ukuran kotak keterangan adalah 8 cm x 25 cm terdiri atas beberapa kotak sebagai berikut (pasal 31 ayat 5) :

a. Kotak Judul Peta dan Arah Utara ;
Kotak judul peta dan arah utara berukuran 8 cm x 6 cm
judul peta PETA BIDANG TANAH dengan ukuran tinggi huruf cl 140 dan tebal 0.5 mm.

b. Arah Utara ;
Garis arah utara ukuran dengan ukuran kaki 3.5 cm dan lebar sayap 4 mm, huruf U dengan ukuran tinggi huruf cl 140 tebal 0.5 mm

c. Skala numeris;
Skala numeris dibuat sesuai dengan skala peta pendaftaran dengan ukuran tinggi huruf cl. 120 dan tebal 0.3 mm

d. Kotak Lokasi Peta ; dengan ukuran 8 cm x 4 cm terdiri dari :
RT/RW :
DESA/ KELURAHAN :
KECAMATAN :
KABUPATEN/KODYA :
PROPINSI :
Ukuran tinggi huruf adalah cl 120 dan tebal 0.3 mm

e. Kotak Legenda ; dengan ukuran 8 cm x 10 cm

Judul LEGENDA ditulis dengan ukuran tinggi huruf cl. 140 dan tebal 0.5 mm
Legenda berisikan hal-hal khusus yang perlu dijelaskan atau diinformasikan sehubungan dengan isi peta bidang tanah dan dapat ditulis dengan ukuran tinggi huruf cl. 100 dan tebal 0.2 mm, lihat lampiran DI.201b dan DI.201c.

Pada pendaftaran tanah sistematik diperlukan penataan nomor peta bidang tanah, karena masing-masing lembar peta dibutuhkan hubungan antara lembar satu dengan yang lainnya. Sistim penomoran ini tidak mengacu pada sistim grid, hanya dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam pencarian lembar bersebelahan.

Perencanaan lembar tersebut dapat dilakukan sebelum atau setelah peta bidang tanah dibuat, dan penulisannya cukup menggunakan tulisan tangan yang rapi dan jelas. Jika dibuat sebelum pembuatan peta bidang, berarti penomoran direncanakan terlebih dahulu, dengan demikian keuntungannya adalah penomoran akan lebih teratur. Sedangkan jika penomoran dibuat setelah pembuatan peta bidang berarti tanpa perencanaan yang khusus, pemberian nomor peta acak dengan increment 1 (pada kotak bagian tengah) lembar peta dan dapat langsung dituliskan. Pengisian kotak yang bersebelahan dilaksanakan jika pengeplotan bidang-bidang tanahnya selesai seluruhnya (ditulis dengan tangan rapi dan jelas).

Sebagai contoh, dimisalkan suatu gabungan peta bidang tanah adalah sebagai berikut :

Gambar Hubungan lembar peta bidang tanah


Gambar Hubungan lembar No. 3 pada kotak petunjuk lembar

f. Kolom Pengesahan ;
Kolom pengesahan oleh pejabat yang berwenang adalah sebagai berikut :

Tempat, tanggal dan tahun
Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kotamadya


Nama
NIP

Atau :

Tempat, tanggal dan tahun
Ketua Panitia Ajudikasi
Desa / Kelurahan


Nama
NIP

Dengan menggunakan ukuran tinggi huruf cl. 120 dan tebal 0.3 mm.

G I M

Pemetaan Indeks Grafis (GIM – Geographical Index Mapping) adalah penyusunan informasi mengenai bidang-bidang tanah yang telah terdaftar untuk memberikan sebagai data pendukung bagi kegiatan administrasi pertanahan. Informasi mengenai bidang tanah yang terdaftar akan dinyatakan dalam 2 (dua) produk yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu ; Daftar Tanah dan Peta Indeks Grafis yang dituangkan dalam Peta Pendaftaran.

Daftar Tanah adalah daftar yang memuat informasi tentang bidang-bidang tanah yang telah terdaftar di dalam suatu desa/kelurahan (Daftar Tanah) atau kabupaten / kotamadya (Daftar Tanah Negara). Dalam daftar tanah dibukukan semua bidang tanah, baik yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum maupun pemerintah dengan sesuatu hak maupun tanah negara yang terletak di desa yang bersangkutan (pasal 146).

Daftar Tanah terdiri dari 2 (dua) buah yaitu ; DI 203 (lampiran 48) dan DI 203 A (lampiran 49).

DI 203 (lampiran 48) terdiri dari 11 (sebelas) kolom, dan diisi dengan ketentuan sebagai berikut ;

1. Kolom 1 diisi dengan dengan Nomor Identifikasi Bidang (NIB). NIB diberikan dengan melanjutkan nomor bidang terakhir yang terdaftar pada desa atau kelurahan tersebut.

2. Kolom 2 diisi dengan luas bidang tanah yang bersangkutan dan dinyatakan dalam meter persegi.

3. Kolom 3 diisi dengan nomor lembar peta pendaftaran dimana bidang tanah tersebut berada.

4. Kolom 4 diisi dengan nomor kotak lembar peta pendaftaran dimana bidang tanah tersebut berada.

5. Kolom 5 diisi dengan NIB bidang yang lama apabila bidang tanah tersebut adalah bidang baru yang diakibatkan perubahan data fisik.

6. Kolom 6 diisi dengan jenis dan nomor hak dari bidang tanah yang bersangkutan.

7. Kolom 7 diisi dengan status bidang tanah dan nomor haknya.

8. Kolom 8 diisi untuk mencatat bidang tanah dengan status tanah negara.

9. Kolom 9 diisi dengan tanggal penerbitan surat ukur dari bidang tanah yang bersangkutan.

10. Kolom 10 diisi dengan nomor gambar ukur dari bidang tanah yang bersangkutan.

11. Kolom 11 diisi dengan keterangan perubahan yang terjadi pada bidang tanah yang bersangkutan, misalnya ; pemisahan, penggabungan, perubahan status bidang tanah dan lain-lain.

DI 203A (lampiran 49) terdiri dari 11 (sebelas) kolom, dan diisi dengan ketentuan sebagai berikut ;

1. Kolom 1 diisi dengan nomor urut.

2. Kolom 2 diisi dengan dengan Nomor Indentifikasi Bidang (NIB). NIB diberikan dengan melanjutkan nomor bidang terakhir yang terdaftar pada desa atau kelurahan tersebut.

3. Kolom 3 diisi dengan luas bidang tanah yang bersangkutan dan dinyatakan dalam meter persegi.

4. Kolom 4 diisi dengan nomor lembar peta pendaftaran dimana bidang tanah tersebut berada.

5. Kolom 5 diisi dengan nomor kotak lembar peta pendaftaran dimana bidang tanah tersebut berada.

6. Kolom 6 diisi dengan letak desa/kelurahan dimana bidang tanah tersebut berada.

7. Kolom 7 diisi dengan letak kecamatan dimana bidang tanah tersebut berada.

8. Kolom 8 diisi dengan yang menguasai bidang tanah tersebut.

9. Kolom 9 diisi dengan P bila bidang tanah tersebut adalah bidang tanah pertanian dan diisi dengan ---- bila bidang tanah tersebut adalah bidang tanah non pertanian.

10. Kolom 10 diisi dengan NP bila bidang tanah tersebut adalah bidang tanah non pertanian dan diisi dengan ---- bila bidang tanah tersebut adalah bidang tanah pertanian.

11. Kolom 11 diisi dengan keterangan perubahan yang terjadi pada bidang tanah yang bersangkutan, misalnya ; pemisahan, penggabungan, perubahan status bidang tanah dan lain-lain.

Peta Indeks Grafis adalah peta yang memuat bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar haknya dan bidang-bidang tanah tersebut belum dipetakan pada peta pendaftaran. Secara skematis, diagram alir pelaksanaan Pemetaan Indeks Grafis dapat dilihat pada Gambar.


A. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan data fisik dari bidang-bidang tanah yang telah terdaftar. Dokumen-dokumen yang diperlukan adalah :

1. Dokumen yang tersedia di Kantor Pertanahan

a. Salinan Daftar Tanah / Daftar Tanah Negara (DI 203 atau DI 203 A).
b. Salinan Surat Ukur (DI 207), Gambar Situasi dan Gambar Ukur (DI 107).
c. Salinan peta-peta yang memuat lokasi bidang tanah yang dimaksud pada Daftar Tanah. Misalnya ; peta PP 10, peta kawasan pengembangan (real estate) dan lain-lain.
d. Salinan peta dasar pendaftaran yang akan dijadikan dasar pembuatan peta indeks grafis.

2. Dokumen yang tersedia pada instansi lain.

a. Salinan peta atau daftar yang dimiliki oleh PBB.
b. Salinan peta atau keterangan yang diperoleh dari Lurah atau Kepala Desa.

B. Analisa Data


Setiap bidang tanah yang telah tercatat dalam Daftar Tanah diteliti apakah dapat langsung dipetakan pada salinan lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran yang telah tersedia.

1. Data yang tersedia di Kantor Pertanahan digunakan untuk mengidentifikasi lokasi bidang tanah di atas peta dasar pendaftaran dengan menggunakan salah satu dari data yang tersedia, yaitu ;

a. Peta-peta yang ada (peta PP 10, peta kawasan pengembangan dll.) dimana bidang tanah tersebut mungkin telah dipetakan.

b. Lokasi dalam kaitannya dengan bidang tanah yang lain seperti terlihat pada letak bidang tanah tersebut pada SU/GS dan GU.

c. Lokasi dalam kaitannya dengan bangunan atau benda-benda fisik lainnya yang memperlihatkan letak bidang tanah tersebut pada SU/GS/GU atau dengan cara menghubungkan hasil pengukuran (bangunan atau benda fisik yang dapat diidentifikasi pada peta dasar pendaftaran).

d. Lokasi dalam kaitannya dengan jalan besar atau jalan yang bersebelahan, yang diperlihatkan dan diberi nama pada SU/GS/GU.

e. Lokasi bidang tanah lainnya yang dicatat pada SU/GS/GU yang bersebelahan.

f. Peta foto, blow up atau foto udara (jika tersedia) dapat membantu identifikasi lokasi bidang tanah karena banyaknya obyek atau detail yang muncul pada media tersebut.