Tuesday, July 8, 2008

Kerangka Dasar Pemetaan

Kerangka dasar pemetaan untuk pekerjaan rekayasa sipil pada kawasan yang tidak luas, sehingga bumi masih bisa dianggap sebagai bidang datar, umumnya merupakan bagian pekerjaan pengukuran dan pemetaan dari satu kesatuan paket pekerjaan perencanaan dan atau perancangan bangunan teknik sipil. Titik-titik kerangka dasar pemetaan yang akan ditentukan lebih dahulu koordinat dan ketinggiannya itu dibuat tersebar merata dengan kerapatan teretentu, permanen, mudah dikenali dan didokumentasikan secara baik sehingga memudahkan penggunaan selanjutnya.

Titik-titik ikat dan pemeriksaan ukuran untuk pembuatan kerangka dasar pemetaan pada pekerjaan rekayasa sipil adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional yang sekarang ini menjadi tugas dan wewenang BAKOSURTANAL. Pada tempat-tempat yang belum tersedia titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional, koordinat dan ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan ditentukan menggunakan sistem lokal.

Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional direncanakan dan dirancang berjenjang berdasarkan cakupan terluas dan terteliti turun berulang memeperbanyak atau merapatkannya pada sub-sub cakupan kawasan dengan ketelitian lebih rendah.

Bahasan kerangka dasar pemetaan berikut lebih mengutamakan teknik dan cara pengukuran titik kerangka dasar pemetaan teristris, utamanya cara polygon dan sipat datar.

2.1 Kerangka Peta

2.1.1 Titik Pengikat dan Pemeriksa

Titik pengikat (reference point) adalah titik dan atau titik-titik yang diketahui posisi horizontal dan atau ketinggiannya dan digunakan sebagai rujukan atau pengikatan untuk penentuan posisi titik yang lainnya. Dengan mengetahui arah, sudut, jarak dan atau beda tinggi suatu titik terhadap titik pengikat, maka dapat ditentukan koordinat dan atau ketinggian titik bersangkutan.

Titik pemeriksa (control point) adalah titik atau titik-titik yang diketahui posisi horizontal dan atau ketinggiannya yang digunakan sebagai pemeriksa hasil ukuran-ukuran yang dimulai dari suatu titik pemeriksa dan diakhiri pada titik pemeriksa yang sama atau titik pemeriksa yang lain. Dengan demikian titik pengikat juga bisa berfungsi sebagai titik pemeriksa.

Kedua pengertian tentang titik pengikat dan titik pemeriksa ini mensyaratkan adanya sistem posisi horizontal dan atau ketinggian yang sama dan dengan tingkat ketelitian yang sama pula pada titik pengikatan dan pemeriksa yang digunakan pada suatu pengukuran. Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa ketelitian posisi titik pemeriksa harus lebih tinggi dibandingkan dengan ketelitian pengukuran.

Lazim dilakukan dalam suatu sistem pengukuran dan pemetaan, titik pengikat dan pemeriksa dibuat dan diukur berjenjang turun semakin rapat dari yang paling teliti hingga ke yang paling kasar ketelitiannya. Sudah tentu titik pengikat dan pemeriksa yang lebih rendah ketelitiannya diikatkan dan diperiksa hasil pengukurannya ke titik pengikat dan pemeriksa yang lebih tinggi ketelitiannya.

Titik-titik pengikat dan pemeriksa yang digunakan untuk pembuatan peta disebut sebagai titik-titik kerangka dasar pemetaan.

Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan sebagai titik ikat dan pemeriksaan di Indonesaia dimulai oleh Belanda dengan membuat titik-titik triangulasi dan tinggi teliti.

2.1.2 Kerangka Dasar Horizontal

Kerangka dasar horizontal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau ditentukan posisi horizontalnya berupa koordinat pada bidang datar (X,Y) dalam sistem proyeksi tertentu. Bila dilakukan dengan cara teristris, pengadaan kerangka horizontal bisa dilakukan menggunakan cara triangulasi, trilaterasi atau poligon. Pemilihan cara dipengaruhi oleh bentuk medan lapangan dan ketelitian yang dikehendaki.

Titik Triangulasi:

Pengadaan kerangka dasar horizontal di Indonesia dimulai di pulau Jawa oleh Belanda pada tahun 1862. Titik-titik kerangka dasar horizontal buatan Belanda ini dikenal sebagai titik triangulasi, karena pengukurannya menggunakan cara triangulasi. Hingga tahun 1936, pengadaan titik triangulasi oleh Belanda ini telah mencakup: pulau Jawa dengan datum Gunung Genuk, pantai Barat Sumatra dengan datum Padang, Sumatra Selatan dengan datum Gunung Dempo, pantai Timur Sumatra dengan datum Serati, kepulauan Sunda Kecil, Bali dan Lombik dengan datum Gunung Genuk, pulau Bangka dengan datum Gunung Limpuh, Sulawesi dengan datum Moncong Lowe, kepulauan Riau dan Lingga dengan datum Gunung Limpuh dan Kalimantan Tenggara dengan datum Gunung Segara. Posisi horizontal (X,Y) titik triangulasi dibuat dalam sistem proyeksi Mercator, sedangkan posisi horizontal peta topografi yang dibuat dengan ikatan dan pemeriksaan ke titik triangulasi dibuat dalam sistem proyeksi Polyeder.

Titikk triangulasi buatan Belanda tersebut dibuat berjenjang turun berulang, dari cakupan luas paling teliti dengan jarak antar titik 20 - 40 km hingga paling kasar pada cakupan 1 - 3 km.

Tabel 2.1: Ketelitian posisi horizontral (X,Y) titik triangulasi.

Titik

Jarak

Ketelitian

M e t o d a

P

20 - 40 km

± 0.07 m

Triangulasi

S

10 - 20 km

± 0.53 m

Triangulasi

T

3 - 10 km

± 3.30 m

Mengikat

K

1 - 3 km

-

Polygon

Selain posisi horizontal (X,Y) dalam sistem proyeksi Mercator, titik-titik triangulasi ini juga dilengkapi dengan informasi posisinya dalam sistem geografis (j ,l ) dan ketinggiannya terhadap muka air laut rata-rata yang ditentukan dengan cara trigonometris.

Pengunaan datum yang berlainan berakibat koordinat titik yang sama menjadi berlainan bila dihitung dengan datum yang berlainan itu. Maka mulai tahun 1974 mulai diupayakan satu datum nasional untuk pengukuran dan pemetaan dalam satu sistem nasional yang terpadu oleh BAKOSURTANAL.

Jaring Kerangka Geodesi Nasional (JKGN)

Upaya pemaduan titik kerangka horizontal nasional oleh BAKOSURTANAL dimulai tahun 1974 dengan menetapkan datum Padang sebagai Datum Indonesia 1974 yang disingkat DI '74. Datum ini merupakan datum geodesi relatif yang diwujudkan dalam bentuk titik Doppler sebagai titik rujukan (ikatan) dan pemeriksaan (kontrol) dalam survai dan pemetaan di Indonesia. Posisi pada bidang datar (X,Y) titik kerangka dan peta berdasarkan datum ini menggunakan sistem proyeksi peta UTM (Universal Traverse Mercator).

Dalam pelaksanaannya jaring kontrol geodesi yang dengan menggunakan cara doppler ini sudah merupakan satu kesatuan sistem, tetapi belum homogen dalam ketelitian karena adanya perbedaan-perbedaan dalam cara pengukuran maupun penghitungannya. Meski demikian ketelitian titik-titik doppler ini memadai untuk pemetaan rupabumi skala 1 : 50 000.

Mulai tahun 1992, BAKOSURTANAL berhasil mewujudkan Jaring Kontrol Geodesi (Horizontal) Nasional yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, berkesinambungan secara geometris, satu datum dan homogin dalam ketelitian. Pengadaan JKG(H)N ini menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS).dan datum yang digunakan mengacu pada sistem ellipsoid referensi WGS84. Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 0 (nol) mencapai fraksi 1x10-7 hingga 1x10-8 ppm, dengan simpangan baku dalam fraksi sentimeter. JKGN Orde 0 meliputi 60 titik/stasion.

Jejaring JKG(H)N Orde 0 diperapat dengan cara serupa dan disebut JKG(H)N Orde 1 yang ditempatkan di setiap kabupaten dan mudah pencapaiannya. Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 1 ini mencapai fraksi 2x10-6 hingga 1x10-7 ppm, dengan simpangan baku <>

Penempatan JKG(H)N Orde 0 dan 1 ini juga menempati berberapa titik yang telah diketahui posisi sebelumnya pada berbagai sistem datum. Dengan demikian bisa ditentukan pula hubungan WGS84 terhadap datum yang ada. Tahun 1996 BAKOSURTANAL menetapkan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah kegiatan survai dan pemetaan menggunakan Datum Geodesi Nasional 1995 disingkat DGN-95 dan posisi pada bidang datar berdasarkan sistem proyeksi peta UTM.

Jaring Kerangka Geodesi Nasional Orde 2 dan 3 (BPN)

Badan Pertanahan Nasional (BPN) mulai tahun 1996 menetapkan penggunaan DGN-95 sebagai datum rujukan pengukuran dan pemetaan di lingkungan BPN dengan pewujudannya berupa pengadaan Jaring Kontrol Geodesi Nasional Orde 2, Orde 3 dan Orde 4.

Kerapatan titik-titik JKGN Orde 2 ± 10 km dan ± 1 - 2 km untuk JKGN orde 3. Kedua kelas JKGN BPN ini diukur dengan menggunakan teknik GPS, diikatkan dan diperiksa hasil ukurannya ke titik-titik JKGN Bakosurtanal Orde 0 dan 1. Posisi horizontal (X,Y) JKGN BPN dalam bidang datar dinyatakan dalam sistem proyeksi peta TM-3, yaitu sistem proyeksi transverse mercator dengan lebar zone 3. Khusus untuk JKGN BPN Orde 4, dengan kerapatan hingga 150 m, pengukurannya dilakukan dengan cara poligon yang terikat dan terperiksa pada JKGN BPN Orde 3 serta hitungan perataannya menggunakan cara Bowditch.

2.1.3 Kerangka Dasar Vertikal

Kerangka dasar vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau ditentukan posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap bidang rujukan ketinggian tertentu. Bidang ketinggian rujukan ini bisa berupa ketinggian muka air laut rata-rata (mean sea level - MSL) atau ditentukan lokal. Umumnya titik kerangka dasar vertikal dibuat menyatu pada satu pilar dengan titik kerangka dasar horizontal.

Pengadaan jaring kerangka dasar vertikal dimulai oleh Belanda dengan menetapkan MSL di beberapa tempat dan diteruskan dengan pengukuran sipat datar teliti. Bakosurtanal, mulai akhir tahun 1970-an memulai upaya penyatuan sistem tinggi nasional dengan melakukan pengukuran sipat datar teliti yang melewati titik-titik kerangka dasar yang telah ada maupun pembuatan titik-titik baru pada kerapatan tertentu. Jejaring titik kerangka dasar vertikal ini disebut sebagai Titik Tinggi Geodesi (TTG).

Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi sipat datar masih merupakan cara pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian kerangka dasar vertikal (K) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan tinggi hasil pengukuran sipat datar pergi dan pulang. Pada Tabel 2.2 ditunjukkan contoh ketentuan ketelitian sipat teliti untuk pengadaan kerangka dasar vertikal. Untuk keperluan pengikatan ketinggian, bila pada suatu wilayah tidak ditemukan TTG, maka bisa menggunakan ketinggian titik triangulasi sebagai ikatan yang mendekati harga ketinggian teliti terhadap MSL.

Tabel 2.2 Tingkat ketelitian pengukuran sipat datar.

Tingkat / Orde

K

I

± 3 mm

II

± 6 mm

III

± 8 mm

2.2 Polygon Kerangka Dasar

Cara pengukuran polygon merupakan cara yang umum dilakukan untuk pengadaan kerangka dasar pemetaan pada daerah yang tidak terlalu luas - sekitar (20 km x 20km). Berbagai bentuk polygon mudah dibentuk untuk menyesuaikan dengan berbagai bentuk medan pemetaan dan keberadaan titik-titik rujukan maupun pemeriksa.

2.2.1 Ketentuan Poligon Kerangka Dasar

Tingkat ketelitian, sistem koordinat yang diinginkan dan keadaan medan lapangan pengukuran merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam menyusun ketentuan poligon kerangka dasar. Tingkat ketelitian umum dikaitkan dengan jenis dan atau tahapan pekerjaan yang sedang dilakukan. Sistem koordinat dikaitkan dengan keperluan pengukuran pengikatan. Medan lapangan pengukuran menentukan bentuk konstruksi pilar atau patok sebagai penanda titik di lapangan dan juga berkaitan dengan jarak selang penempatan titik.

Contoh 2.1

Pada pekerjaan perancangan rinci (detailed design) peingkatan jalan sepanjang 20 km di sekitar daerah padat hunian diperlukan:

a. Peta topografi skala 1 : 1 000,

b. Sistem koordinat nasional (umum),

c. BM dipasang setiap 2 km, dan

d. Salah penutup koordinat 1 : 10 000.

Berdasarkan keperluan peta ini, bila pemetaan dilakukan secara teristris, diturunkan ketentuan poligon kerangka dasar:

  • Alat ukur sudut yang digunakan dengan ketelitian satu sekon, dan sudut diukur dalam
    4 seri pengukuran.
  • Alat ukur pengamatan matahari untuk menentukan jurusan awal dan jurusan akhir.
  • Jarak antar titik polygon 0.1 - 2 km dan ketelitian alat ukur jarak 10 ppm.
  • Salah penutup sudut polygon = 10" Ö N, dengan N = jumlah titik poligon.
  • Salah penutup koordinat 1 : 10 000:
    Bila fx adalah salah penutup absis, fy adalah salah penutup ordinat dan D adalah total jarak sisi-sisi poligon, maka salah penutup koordinat:
    S = {(fx2 + fy2)/D}1/2 harus £ 1 : 10 000.
  • Bakuan BM: ukuran, bahan, notasi.

2.2.2 Tata Cara Poligon Kerangka Dasar

Tata cara poligon kerangka dasar disusun berdasarkan ketentuan poligon yang memenuhi kebutuhan pemetaan yang diperlukan. Secara umum, tata cara meliputi: oragnisasi pelaksanaan secara umum, perlatan, pengukuran dan pencatatan, hitungan perataan dan pelaporan.

Kasus:
Berdasarkan ketentuan poligon pada Contoh 2.1 di atas.


Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 2.1: Poligon terbuka terikat di ujung dan akhir untuk pembuatan kerangka peta.

1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa di awal dan akhir lokasi pekerjaan:

a. Telah terdapat kedua titik ikat/pemeriksa: diperlukan pengamatan azimuth,

b. Belum terdapat kedua titik: pengamatan (j , l ) dan posisinya dalam sistem umum dan
serta pengamatan azimuth.

2. Pembuatan, pemasangan dan dokumentasi BM.

3. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak mengandung salah sistematis.

4. Pengukuran yang menghilangkan atau meminimalkan pengaruh semua kesalahan dan
dicapai ketelitian yang diinginkan.

5. Perekaman bersistem menggunakan media konvensioanal ataupun dijital.

6. Hitungan dan perataan koordinat cara BOWDITCH:

fa = (a AKHIRa AWAL) - å b I + n ´ 180° dan fa £ ± 10" Ö N
fX = (XAKHIR – XAWAL) –
å dI sin a I
fY = (YAKHIR – YAWAL) –
å dI cos a I dan (fX2 + fY2) / å dI £ 1 : 10 000
d XI = (dI / S dI) ´ fX dan X2 = X1 + D X12 + d X12
d Y = (dI / S dI) ´ fY dan Y2 = Y1 + D Y12 + d Y12

7. Pelaporan dan penysunan daftar koordinat.

Sistem umum atau nasional adalah sistem yang berlaku secara nasional menggunakan bidang datum dan sistem proyeksi peta yang berlaku umum secara nasional.

Posisi (j ,l ) bisa diperoleh dengan cara pengamatan astronomis atau cara GPS (global positioning systems) melalui pengamatan satelit.

2.3 Sipat Datar Kerangka Dasar

Pengukuran beda tinggi cara sipat datar mudah dilaksanakan pada daerah relatif datar dan terbuka. Pada daerah pegunungan, terjal atau tertutup berakibat jarak pandang yang semakin pendek. Jumlah pengamatan pada selang pengukuran yang sama bertambah, sehingga memperbesar kemungkinan dan besaran kesalahan atau mengurangi ketelitian. Bila titik poligon sebagai titik kerangka horizontal juga merupakan titik tinggi kerangka vertikal, maka penempatannya harus memungkinkan pelaksanaan pengukuran sipat datar.

2.2.1 Ketentuan Sipat Datar Kerangka Dasar

Tingkat ketelitian ukuran beda tinggi sipat datar untuk kerangka dasar pemetaan ditentukan oleh tahapan dan jenis pekerjaan. Ketelitian tinggi pada perencanaan dan perancangan jalan secara umum tidak perlu seteliti untuk pekerjaan pengairan. Keberadaan titik ikatan di lokasi berpengaruh pada volume pekerjaan pengikatan.

Contoh:

Bila pada Contoh 2.1 di atas, titik-titik KDH yang dipasang juga merupakan titik-titik KDV, maka diperlukan, misalnya:

a. Sistem tinggi menggunakan sistem nasional, dan

b. Kesalahan beda tinggi terbesar ± 6 Ö Dkm mm.

Berdasarkan keperluan ketelitian tinggi ini, diturunkan ketentuan sipat datar kerangka dasar:

  • Alat ukur sipat datar yang digunakan mampu untuk membaca sampai ke fraksi mm, pengukuran beda tinggi dilakukan pergi pulang dan masing-masing pengukuran dilakukan dua kali.
  • Jarak alat ke rambu ukur 10 – 60 m.
  • Salah penutup beda tinggi antar BM dan pengukuran kurang atau sama dengan ± 6 Ö Dkm

2.2.2 Tata Cara Sipat Datar Kerangka Dasar

Tata cara sipat datar kerangka dasar harus sepadan dengan persayaratan dalam ketentuan sipat datar yang memenuhi kebutuhan penentuan ketinggian dalam sistem tinggi yang diinginkan. Tata caranya meliputi: oragnisasi pelaksanaan secara umum, perlatan, pengukuran dan pencatatan, hitungan perataan dan pelaporan.

Kasus:
Berdasarkan bentuk KDH pada Contoh 2.1 di atas.

1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa serta pengikatan di awal dan akhir lokasi pekerjaan.

2. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak mengandung salah sistematis.

3. Pengukuran yang menghilangkan atau meminimalkan pengaruh semua kesalahan dan
dicapai ketelitian yang diinginkan.

5. Perekaman bersistem menggunakan media konvensioanal ataupun dijital.

6. Hitungan dan perataan beda tinggi:

fH = (HAKHIR – XAWAL) – å D H dan fH kurang dari ± 6 Ö Dkm
d H = (1 / n) ´ fH dan H2 = H1 + D H12 + d H12 dengan jarak ukur seragam.

7. Pelaporan dan penysunan daftar koordinat.

2.3 Urutan Kegiatan Penyelenggaraan Kerangka Dasar Pemetaan

Urutan pekerjaan pengadaan kerangka dasar pemetaan secara umum:

  • Peninjauan lapangan:

Pengumpulan informasi keadaaan lapangan seperti titik-titik yang sudah ada, medan dan kesampaian lapangan, administrasi teknis dan non-teknis seperti perijinan dan lain-lainnya.

  • Perencanaan:

a. Bentuk kerangka, ketelitian dan penempatan serta kerapatan titik-titik kerangka,

b. Peralatan ukur yang akan digunakan,

c. Tata-cara pengukuran dan pencatatan yang sepadan dengan ketelitian dan cara serta
alat yang digunakan,

d. Bentuk dan bahan titik pilar dan cara pemasangannya,

e. Jadual pelaksanaan pekerjaan termasuk jadual personil, peralatan dan logistik,

f. Tata-laksana pekerjaan administrasi, teknis. Personil, peralatan dan logistik.

  • Pemasangan dan penandaan patok / pilar:

a. Pilar dan patok dipasang agar kuat dan stabil pada tenggang waktu yang direncanakan,

b. Lokasi pilar dan patok harus aman, stabil dan terjangkau serta mudah pengukurannya,

c. Memasang tanda pengenal pilar dan patok,

d. Membuat deskripsi lokasi, struktur, cara dan pelaksana pemasangan pilar.

  • Pengukuran:

Pengukuran dilaksanakan sesuai ketentuan yang dibuat pada perencanaan pengukuran.

  • Perhitungan:

a. Menghitung dan membuat koreksi hasil ukuran,

b. Mereduksi hasil ukuran,

c. Menghitung data titik kontrol, misalnya azimuth,

d. Menghitung koordinat dan ketinggian.

Bila data KDH akan dinyatakan dalam sistem proyeksi peta tertentu - misalnya UTM, maka juga harus dilakukan reduksi data ukuran ke sistem proyeksi. Hitungan koordinat dan ketinggian definitif menggunakan cara perataan sederhana – BOWDITCH misalnya, atau menggunakan cara perataan kwadrat (kesalahan) terkecil.

  • Menyusun daftar Koordinat dan Ketinggian:

Daftar dibuat dalam bentuk kolom yang menunjukkan nomor titik pilar, koordinat, dan ketinggian serta keterangan sistem koordinat dan rujukan ketinggian yang digunakan.

Pertanyaan dan Soal Latihan

1. a Apa perbedaan P titik triangulasi primer dan Q titik triangulasi sekunder
b. Bolehkah P dan Q digunakan untuk ikatan dan pemeriksaan satu poligon KDH ?

2. Lahan sawah irigasi non-teknis seluas 2 500 ha yang terletak 5 km dari saluran irigasi primer dan sekunder akan dikembangkan menjadi sawah berigasi teknis. Di kawasan ini belum tersedia peta topografi skala 1 : 1 000, tetapi di sekitar saluran irigasi telah tersedia titik-titik KDH/KDV dalam sistem umum dan peta dasar buatan Bakosurtanal skala 1 : 50 000.
a. Apa kegunaan peta dasar untuk pekerjaan pembuatan peta topografi skala 1 : 1 000 ?
b. Sebutkan jenis pekerjaan pengukuran yang diperlukan untuk pembuatan KDH/KDV peta ini.
c. Coba susun ketentuan KDH/KDV pemetaan lahan ini dalam sistem umum.

3. Untuk pemetaan kawasan seperti kasus soal 2 di atas sering dibuat poligon tertutup untuk pembuatan kerangka peta yang diikatkan ke titik KDH/KDV nasional. Coba turunkan persyaratan hitungan poligon tertutup bila yang diukur sudut-sudut dalam poligon. Apa keuntungan poligon tertutup ?

Rangkuman

Kerangka dasar pemetaan dibuat untuk ikatan dan pemeriksaan pengukuran untuk pembuatan peta. Titik kerangka dasar selalu dibuat lebih teliti dibandingkan titik pengukuran yang lain. Ketelitian kerangka dasar ditentukan sesuai tahapan pekerjaan perencanaan dan perancangan yang berarti juga cakupan pemetaan. Untuk pekerjaan rekayasa sipil biasa digunakan cara poligon dan cara sipat datar, masing-masing untuk pengadaan kerangka dasar pemetaan horizontal dan vertikal. Terdapat beberapa sistem KDH nasional di Indonesia: triangulasi Belanda, JKGN Orde 0 dan 1 Bakosurtanal dan JKGN Orde 2 dan 3 BPN. Sistem KDV nasional mengacu pada tinggi muka laut yang terpadu. Saat ini, pengadaan titik-titik kerangka dasar horizontal banyak dilakukan dengan cara berbantukan sistem navigasi satelit, misalnya GPS (global positioning systems) yang bisa untuk menentukan posisi sebarang titik di muka bumi tanpa terlalu bergantung pada cuaca dan kondisi lapangan lainnya.

Pengukuran untuk Pembuatan Peta

Pengukuran untuk pembuatan peta juga biasa disebut pengukuran topografi, atau pengukuran situasi, atau pengukuran detil, dilakukan untuk dapat menggambarkan unsur-unsur: alam, buatan manusia dan bentuk permukaan tanah dengan sistem dan cara tertentu. Di antara beberapa cara yang dibahas berikut adalah cara offset dan tachymetry.

3.1 Pengukuran Pembuatan Peta Cara Offset

Pengukuran untuk pembuatan peta cara offset menggunakan alat utama pita ukur, sehingga cara ini juga biasa disebut cara rantai (chain surveying). Alat bantu lainnya adalah: (1) alat pembuat sudut siku cermin sudut dan prisma, (2). jalon, dan (3) pen ukur.

Dari jenis peralatan yang digunakan ini, cara offset biasa digunakan untuk daerah yang relatif datar dan tidak luas, sehingga kerangka dasar untuk pemetaanya-pun juga dibuat dengan cara offset. Peta yang diperoleh dengan cara offset tidak akan menyajikan informasi ketinggian rupa bumi yang dipetakan.

Cara pengukuran titik detil dengan cara offset ada tiga cara: (1) Cara siku-siku (cara garis tegak lurus ), (2) Cara mengikat (cara interpolasi), dan (3) Cara gabungan keduanya.

Dalam bahasan berikut lebih mengutamakan pembahasan teknik cara offset, sedangkan hal teknik pembuatan garis tegak lurus, perpanjangan garis dan penggunaan prisma yang sudah diuraikan di bab sebelumnya tidak dibahas lagi.

3.1.1 Kerangka Dasar Cara Offset

Kerangka dasar pemetaan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga setiap garis ukur yang terbentuk dapat digunakan untuk mengukur titik detil sebanyak mungkin. Garis ukur adalah garis lurus yang menghubungkan dua titik kerangka dasar. Jadi garis ukur berfungsi sebagai "garis dasar" untuk pengikatan ukuran offset.

Kerangka dasar cara offset cara siku-siku:

Setiap garis ukur dibuat saling tegak lurus.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.1: Kerangka dasar cara offset cara siku-siku.

Titik-titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang.

Andai akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka dibuat garis ukur BB' dan DD' tegak lurus garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D, D'B', B'B dan B'C. Sebagai kontrol, bila memungkinkan, diukur pula jarak AD, DC, CB dan BA.

Kerangka dasar cara offset cara mengikat:

Setiap garis ukur diikatkan pada salah satu garis ukur.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.2: Kerangka dasar cara offset cara mengikat

Titik-titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang.

Bila akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka ditentukan sembarang titik-titik D', D", B' dan B" pada garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D", D'B', B'B", B"C, D'D, D"D, B'B dan B"B. Sebagai kontrol, bila memungkinkan, diukur pula jarak AD, DC, CB dan BA.

Kerangka dasar cara offset cara segitiga:

Titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2. Ukur jarak-jarak AB, BC, CD, DA dan AC yang merupakan sisi-sisi segitiga ABC dan ADC sebagai garis ukur.

Karena garis ukur dibuat dengan membentuk segitiga-segitiga, maka cara ini juga disebut cara trilaterasi.

3.1.2 Pengukuran Detil Cara Offset

Pengukuran detil cara offset cara ciku-siku:

Setiap titik detil diproyeksikan siku-siku terhadap garis ukur dan diukur jaraknya.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.3: Pengukuran detil cara offset cara siku-siku.

A dan B adalah titik-titik kerangka dasar sehingga gari AB adalah garis ukur. Titik-titik a, b, c dan d dadalah tittik-titik detil dan titik-titik a', b', c' dan d' adalah proyeksi titik a, b, c dan d ke garis ukur AB.

Pengukuran detil cara offset cara mengikat

Setiap titik detil diikatkan dengan garis lurus ke garis ukur.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.4: Pengukuran detil cara offset cara mengikat.

A dan B adalah titik-titik kerangka dasar, sehingga gari AB adalah garis ukur. Titik-titik a, b, c adalah tittik-titik detil dan titik-titik a', b', c' dan a", b", c" adalah titik ikat a, b, dan c ke garis ukur AB. Diusahakan segi-3 aa'a", bb'b" dan cc'c" samasisi atau sama kaki.

Pengikatan titik a, b, dan c ke garis ukur AB lebih sederhana bila dibuat dengan memperpanjang garis detil hingga memotong ke garis ukur.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.5: Pengukuran detil cara offset cara mengikat dengan perpanjangan garis titik detil.

Pengukuran detil cara offset cara kombinasi:

Setiap titik detil diproyeksikan atau diikatkan dengan garis lurus ke garis ukur. Dipilih cara pengukuran yang lebih mudah di antara kedua cara.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.6: Pengukuran detil cara offset cara kombinasi.

Titik detil penting dianjurkan diukur dengan kedua cara untuk kontrol ukuran.

3.1.3 Kesalahan pengukuran cara offset

Kesalahan arah garis offset a dengan panjang l yang tidak benar-benar tegak lurus berakibat:

1. Kesalahan arah sejajar garis ukur = l sin a

2. Kesalahan arah tegak lurus garis ukur = l - l cos a

Bila skala peta adalah 1 : S, maka akan terjadi salah plot sebesar 1/S x kesalahan.

Bila kesalahan pengukuran jarak garis ofset d l, maka gabungan pengaruh kesalahan pengukuran jarak dan sudut menjadi: {(l sin a ) 2 + d l 2}1/2.

3.1.4 Ketelitian Pemetaan Cara Offset

Upaya peningkatan ketelitian hasil ukur cara offset bisa dilakukan dengan :

1. Titik-titik kerangka dasar dipilih atau dibuat mendekati bentuk segitiga sama sisi

2. Garis ukur:

a. Jumlah garis ukur sesedikit mungkin

b. Garis tegtak lurus garis ukur sependek mungkin

c. Garis ukur pada bagian yang datar

3. Garis offset pada cara siku-siku harus benar-benar tegak lurusgaris ukur

4. Pita ukur harus benar-benar mendatar dan diukur seteliti mungkin

5. Gunakan kertas gambar yang stabil untuk penggambaran

3.1.5 Pencatatan Dan Penggambaran Cara Offset

Pengukuran cara offset dicatat ke dalam buku ukur yang tiap halamannya berbentuk tiga kolom. Kolom ke 1 – paling kiri, digunakan untuk menggambar sket pengukuran. Kolom ke 2 digunakan untuk mencatat hasil ukuran dengan paling bawah awal garis ukur, dan kolom ke 3 digunakan untuk mencatatat deskripsi garis offset.

Tiada bakuan untuk penggambaran cara offset. Penggambaran biasa dibuat dengan urutan pertama penggambaran garis ukur, kedua pengeplotan garis offset yang disertai dengan penyajian penulisan angka jarak ukur tegak lurus arah garis ukur.Sudut disiku diberi tanda siku.

3.2 Pengukuran Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Tachymetry

Salah satu unsur penting pada peta topografi adalah unsur ketinggian yang biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan pengukuran cara tachymetri, selain diperoleh unsur jarak, juga diperoleh beda tinggi. Bila theodolit yang digunakan untuk pengukuran cara tachymetri juga dilengkapi dengan kompas, maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran untuk pengukuran detil topografi dan pengukuran untuk pembuatan kerangka peta pembantu pada pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan efisien.

Alat ukur yang digunakan pada pengukuran untuk pembuatan peta topografi cara tachymetry menggunakan theodolit berkompas adalah: theodolit berkompas lengkap dengan statif dan unting-unting, rambu ukur yang dilengkapi dengan nivo kotak dan pita ukur untuk mengukur tinggi alat.

Data yang harus diamati dari tempat berdiri alat ke titik bidik menggunakan peralatan ini meliputi: azimuth magnet, benang atas, tengah dan bawah pada rambu yang berdiri di atas titik bidik, sudut miring, dan tinggi alat ukur di atas titik tempat berdiri alat.

Keseluruhan data ini dicatat dalam satu buku ukur.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.7: Pegukuran jarak dan beda tinggi cara tachymetry.

Jarak datar = dAB = 100 ´ (BA – BB) cos2m; m = sudut miring.

Beda tinggi = D HAB = 50 ´ (BA – BB) sin 2m + i – t; t = BT.

3.2.1 Tata Cara Pengukuran Detil Cara Tachymetri Menggunakan Theodolit Berkompas

Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat ukur di atas titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap untuk pengukuran, dimulai dengan perekaman data di tempat alat berdiri, pembidikan ke rambu ukur, pengamatan azimuth dan pencatatan data di rambu BT, BA, BB serta sudut miring m.

  • Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik kerangka penolong dan atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi alat di atas titik ini.
  • Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo kotak.
  • Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma berimpit dengan garis tengah rambu. Kemudian kencangkan kunci gerakan mendatar teropong.
  • Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas. Setelah jarum setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis dari tempat alat ke titik bidik.
  • Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan benag tengah, atas dan bawah serta cata dalam buku ukur. Bila memungkinkan, atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi alat, sehingga beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara titik kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik.
  • Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun buatan manusia yang mempengaruhi bentuk topografi peta daerah pengukuran.

3.2.2 Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolit berkompas

  • Kesalahan alat, misalnya:
    a. Jarum kompas tidak benar-benar lurus.
    b. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya.
    c. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah kolimasi).
    d. Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0° tidak sejajar garis bidik.
    e. Letak teropong eksentris.
    f. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar.
  • Kesalahan pengukur, misalnya:
    a. Pengaturan alat tidak sempurna ( temporary adjustment ).
    b. Salah taksir dalam pemacaan
    c. Salah catat, dll. nya.
  • Kesalahan akibat faktor alam, misalnya:
    a. Deklinasi magnet.
    b. atraksi lokal.

3.2.3 Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Polar.

Posisi horizontal dan vertikal titik detil diperoleh dari pengukuran cara polar langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik (kerangka) penolong yang juga diikatkan langsung dengan cara polar ke titik kerangka dasar pemetaan.

Unsur yang diukur:
a. Azimuth magnetis dari titik ikat ke titik detil,
b. Bacaan benang atas, tengah, dan bawah
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat di atas titik ikat.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.8: Pengukuran topografi cara tachymetri-polar.

A dan B adalah titik kerangka dasar pemetaan,
H
adalah titik penolong,
1, 2 ...
adalah titik detil,
Um
adalah arah utara magnet di tempat pengukuran.

Beradasar skema pada gambar, maka:
a. Titik
1 dan 2 diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar A,
b. Titik H, diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar B,
c. Titik 3 dan 4 diukur dan diikatkan langsung dari titik penolong H.

3.2.4 Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Poligon Kompas.

Letak titik kerangka dasar pemetaan berjauhan, sehingga diperlukan titik penolong yang banyak. Titik-titik penolong ini diukur dengan cara poligon kompas yang titik awal dan titik akhirnya adalah titik kerangka dasar pemetaan. Unsur jarak dan beda tinggi titik-titik penolong ini diukur dengan menggunakan cara tachymetri.

Posisi horizontal dan vertikal titik detil diukur dengan cara polar dari titik-titik penolong.

Kerangka Dasar Pemetaan

Gambar 3.8: Pengukuran topografi cara tachymetri-poligon kompas.

Berdasarkan skema pada gambar, maka:
a. Titik
K1, K3, K5, K2, K4 dan K6 adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan,
b. Titik H1, H2, H3, H4 dan H5 adalah titik-titik penolong
c. Titik a, b, c, ... adalah titik detil.

Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H3, H4 , H5, K4 dilakukan untuk memperoleh posisi horizontal dan vertikal titik-titik penolong, sehingga ada dua hitungan:
a. Hitungan poligon dan
b. Hitungan beda tinggi.

Tata cara pengukuran poligon kompas:

1. Pengukuran koreksi Boussole di titik K3 dan K4,

2. Pengukuran cara melompat (spring station) K3, H2, H4dan K4.

3. Pada setiap titik pengukuran dilakukan pengukuran:
a. Azimuth,
b. Bacaan benang tengah, atas dan bawah,
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat.

Tata cara hitungan dan penggambaran poligon kompas:

1. Hitung koreksi Boussole di K3 = AzG. K31 - AzM K31
2. Hitung koreksi Boussole di K4 = AzG. K42 - AzM K42
3. Koreksi Boussole C = Rerata koreksi boussole di K3 dan K4
4. Hitung jarak dan azimuth geografis setiap sisi poligon.
5. Hitung koordinat H1, ... H5 dengan cara BOWDITH atau TRANSIT.
6. Plot poligon berdasarkan koordinat definitif.

Contoh hitungan ( polKompas ) menggunakan MS Excel terlampir.

Selain hitungan cara numeris, poligon kompas juga bisa digambar kesalahan ukurnya dengan cara mengeplotkan langsung data yang diperoleh dari tahapan hitungan 1, 2, 3 dan 4 di atas. Seharusnya, bila tidak ada kesalahan ukur titik K4 hasil pengeplotan langsung berdasarkan koordinat dan pengeplotan titik K4 dari polygon kompas seharusnya berimpit. Penyimpangan grafis yang tidak terlalu besar atau dalam selang toleransi dikoreksikan secara grafis pada masing-masing titik poligon sebanding jumlah jarak poligon di titik poligon.

Tata cara hitungan beda tinggi pada poligon kompas:

1. Hitung beda tinggi antara titik-titik poligon,
2. Seharusnya jumlah beda tinggi = beda tinggi titik awal dan akhir
3. Bila terdapat selisih diratakan matematis ke setiap titik,
4. Hitung ketinggian definitif masing-masing titik poligon.

Pertanyaan dan Soal Latihan

1. Buat perbandingan pengukuran pengikatan cara offset dengan pengikatan pada penentuan posisi cara mengikat ke muka dan ke belakang.

2. Apakah mungkin pada pengukuran tachymetri BT = (BA + BB)/2 ?
Apa keuntungan mengatur bacaan BT pada pengukuran tachymetri = tinggi alat ?

3. Apa keuntungan dan kerugian pengikatan arah menggunakan arah utara magnet ?

Rangkuman

Peta planimetris pada daerah datar dengan cakupan tidak luas bisa dibuat dengan cara offset. Pengukuran untuk pembuatan peta cara tachymetri menggunakan theodolite berkompas banyak digunakan untuk pembuatan peta topografi pada berbagai jenis medan pengukuran. Pengukuran poligon cara tachymetri berbantukan theodolite berkompas memungkinkan pengadaan KDH dan KDV pembantu dan sekaligus pengukuran titik detil.

No comments: